Dark/Light Mode

Tahun 2026, Pertamina Targetkan 10 GW Pembangkit Energi Bersih

Rabu, 9 Desember 2020 13:16 WIB
Tahun 2026, Pertamina Targetkan 10 GW Pembangkit Energi Bersih

 Sebelumnya 
Pertamina juga mengembangkan DME untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG, yang 70 persen di antaranya berasal dari impor.

“Ini adalah beberapa inisiatif Pertamina, untuk mendukung perkembangan NRE dan mencapai target bauran energi pemerintah,” katanya.

Menurut Ernie, aksi strategis ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari Pertamina. Tidak hanya untuk mengambil bagian, tetapi menjadi pemimpin dalam transisi energi di Indonesia.

“Visi kami adalah memimpin transisi energi di Indonesia, melalui inovasi energi bersih. Geothermal akan tetap menjadi salah satu pilar dari bisnis kami,” ujarnya.

Inisiatif yang dilakukan Pertamina dalam pengembangan NRE, merupakan jawaban atas pergerakan energi sejak pandemi Covid-19.

Baca juga : Terapkan ESG Framework, Pertamina Pionir Transisi Energi Indonesia

Dalam Pertamina Energy Webinar 2020, Vice President Pertamina Energy Institute Hery Haerudin memaparkan, pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kebutuhan energi sebesar 16 persen pada 2020, dan 3 persen pada 2050, dibanding proyeksi sebelum pandemi. Recovery kebutuhan energi paling cepat terjadi pada 2022.

Energi terbarukan menjadi energi primer, dengan tingkat kebutuhan paling tinggi dengan porsi mencapai 29 persen di skenario market driven, dan 47 persen pada skenario green transition pada 2050. Pemanfaatan gas juga meningkat dengan porsi relatif stabil.

Di sisi lain, penggunaan batu bara dan minyak mengalami penurunan karena transisi energi.

 “Untuk mencapai penurunan emisi sesuai skenario, diperlukan EBT paling sedikit 16 persen pada 2030, yang didukung oleh disrupsi energi lainnya. Seperti EV, biofuel, dan peningkatan pemanfaatan gas,” katanya.

Mengingat salah satu tantangan pengembangan NRE adalah pembiayaan, maka perusahaan di sektor minyak dan gas bumi perlu melakukan transisi energi yang lebih memperhatikan dampak lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social and Governance/ESG).

Baca juga : Akhir Tahun Ini, Pertamina Optimis Cetak Laba

Sementara itu, di tengah meningkatnya tuntutan pasar keuangan terhadap credit rating terkait dengan ESG, Moody’s memasukkan penilaian ESG ke dalam profil perusahaan-perusahaan.

Moody’s Investors Service menilai, perusahaan-perusahaan oil and gas ke dalam peringkat moderate risk dalam Environment dan Social scorecard.

Moody’s melakukan penilaian credit rating terhadap 11 sektor yang terdampak oleh risiko lingkungan, di mana sektor batubara menjadi sektor yang dianggap berisiko paling tinggi.

Untuk sektor yang termasuk ke dalam profil risiko moderat untuk kategori lingkungan dan sosial, Moody’s menilai perusahaan perlu melakukan mitigasi risiko lingkungan dan sosial ini.

Hui Ting Sim, Analyst Corporate Finance Group dari Moody’s Investors Service mengatakan, sektor migas terdampak oleh carbon transition risk.

Baca juga : Pertamina Dukung Inovasi UGM di Bidang Energi Dan Kesehatan

“Penting bagi perusahaan mengambil tindakan untuk memitigasi risiko dampak lingkungan, agar memperbaiki credit rating score,” katanya.

Hui Ting menyatakan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan migas untuk memperbaiki credit rating score mereka. Antara lain, mendiversifikasi usaha dan menanggulangi risiko transisi energi.

“Jika perusahaan tidak melakukan apa-apa, skor risiko lingkungan mereka akan menjadi negative,” katanya. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.