Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Industri Hilir Sawit Makin Kuat, GIMNI Minta Pungutan Ekspor Dipertahanin

Senin, 24 Mei 2021 10:15 WIB
Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Bernard Riedo. (Foto: ist)
Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Bernard Riedo. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pelaku usaha industri hilir kelapa sawit dan petani meminta pemerintah tetap melanjutkan skema pungutan ekspor yang saat ini berjalan di dalam PMK 191/PMK.05/2020. Pungutan ekspor sudah terbukti mendorong Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) dan menjaga stabilitas harga pasar sawit dalam negeri baik produk minyak goreng di level industri serta Tandan Buah Segar (TBS) petani.

“Dengan struktur pungutan ekspor sekarang, ekspor dalam bentuk produk hilir sawit meningkat pesat. Begitupula investasi hilir terus bertambah di dalam negeri. Industri hilir sawit akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dari aspek penyerapan tenaga kerja, pajak, dan devisa,” ujar Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Bernard Riedo, dalam keterangan tertulis, Senin (24/5).

Kebijakan tarif pungutan ekspor sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 dinilai sudah on the right track atau sejalan dengan arah program hilirisasi. Bernard Riedo mengatakan skema tarif pungutan sawit yang lebih tinggi kepada produk hulu, dan tarif lebih rendah untuk produk hilir sangat mendukung daya saing ekspor produk hilir Indonesia di pasar global.

Baca juga : Industri Otomotif Bangkit, IPCC Kecipratan Manisnya

GIMNI meminta pemerintah supaya konsisten mengimplementasikan PMK nomor 191/PMK.05/2020 yang mulai efektif berjalan pada 10 Desember 2020. Sebab aturan ini sudah terbukti mampu meningkatkan daya saing produk hilir sawit Indonesia baik itu berupa oleofood. Dan juga oleochemicals di pasar global sekaligus menjaga stabilitas harga produk sawit untuk makanan di pasar dalam negeri, yang bermuara terciptanya kebijakan hilir sawit.

Berdasarkan data yang dikumpulkan GIMNI, sepanjang Januari sampai April 2021 komposisi ekspor produk hilir (high value add) dalam bentuk volume di atas 80-90 persen. Sedangkan, ekspor minyak sawit mentah (CPO dan CPKO, low value add) rerata menurun drastis ke arah 10-20 persen.

Pada Januari, ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 2,861 juta ton (24 persen Crude Oils/CO dan Palm Processed Oils/PPO sebesar 76 persen). 

Baca juga : Belgia Sentimen Ke Sawit, Herman Khaeron Minta Pemerintah Balas

Selanjutnya Februari, volume ekspor sawit berjumlah 1,994 juta ton (crude oils 20 persen dan PPO sebesar 80 persen). Volume ekspor sawit dan turunannya di Maret naik menjadi  2,63 juta ton (crude oils 12 persen dan PPO 88 persen). Bulan April, volume ekspor kembali naik menjadi 3,078 juta ton (crude oils 10,6 persen dan PPO 89,4 persen).

“Tingginya ekspor sawit dalam bentuk hilir akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi industri sawit di dalam negeri,” ujar Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga.

Menurut Sahat, regulasi pungutan ekspor memberikan insentif yang cukup attractive untuk mengekspor produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa, lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh sebagian para pebisnis sawit Indonesia.

Baca juga : Kasus Corona Sumatera Meningkat, Arus Balik di Pelabuhan Bakaheuni Diperketat

“Semenjak Januari sampai Mei ini, harga sawit terus merangkak naik. Dari harga tender CPO Rp 9.900 per kilogram di Dumai, sekarang sudah di kisaran Rp 11.700 per kilogram. Pungutan ekspor juga ikut naik sebagai dampak kenaikan harga,” ujarnya.

Di pasar global, selisih harga antara CPO dengan soya oil mencapai 400 dolar AS per ton. Menurut Sahat, besarnya selisih ini akan membuat negara konsumen minyak nabati untuk mencari nabati murah. Satu-satunya minyak yang terjangkau harganya adalah sawit. 

Di level harga rendah inilah yang menjadikan negara-negara sub-tropis penghasil soft oils berusaha untuk mendiskreditkan minyak sawit dari pasar dengan berbagai kampanye negatif akan sawit. Sementara itu, rerata harga minyak bumi 37,2 dolar AS per barel di periode yang sama 2020, kini harga minyak bumi bertengger di 67 dolar AS per barel. Kenaikan harga minyak bumi ini juga memiliki relevansi dengan tingginya harga sawit.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.