Dark/Light Mode

Mengulik Tingginya Tarif Tiket Pesawat

Jumat, 17 Mei 2019 15:44 WIB
Tulus Abadi (Foto: Istimewa)
Tulus Abadi (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Gonjang ganjing tingginya tarif pesawat di Indonesia, selama beberapa bulan terakhir, sangat mengharu biru emosi publik. Pasalnya kenaikan itu dianggap melewati batas kewajaran dari tarif biasanya. Bahkan bukan hanya konsumen akhir saja yang berteriak keras, sektor jasa lain pun berteriak sama kencangnya. Mengingat, aksi akrobatik tiket pesawat sudah mengancam periuk nasi dari perusahaannya, termasuk BUMN sekelas PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. Untuk merespon hal ini, klimaksnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi telah menelurkan beleid baru untuk merevisi formulasi Tarif Batas Atas (TBA) sebesar 12-16 persen, untuk kategori pesawat jet, dan 50 persen untuk kategori maskapai LCC (Low Cost Carrier), atau maskapai berbiaya murah. Beleid baru itu berupa Kepmenhub No. 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. TBA inilah yang dianggap biang kerok atas tingginya tarif pesawat saat ini. Sejatinya, Menhub telah melakukan berbagai lobi dan pendekatan kepada managemen maskapai untuk secara suka rela menurunkan tiket pesawatnya. Namun rupanya hal ini tak membuahkan hasil. Maka, Menhub menggunakan jurus pamungkasnya yakni merevisi besaran TBA, yang memang merupakan hak Menhub, sebagai regulator. Aksi Menhub ini secara normatif hal yang lazim, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Masalahnya, terlepas dari kelaziman dari sisi normatif itu, apakah aksi yang dilakukan Menhub juga merupakan kelaziman dalam industri penerbangan? Dan bagaimana sejatinya duduk perkara mahalnya tiket pesawat, dan bagaimana pula konsumen harus menyikapinya?

Jika mengacu pada aspirasi publik, aksi Menhub yang merevisi TBA tiket pesawat bisa dipahami. Apalagi petisi dan tagar #PecatBudiKarya sempat menjadi trending topic di media sosial, twitter. Namun dari sisi regulasi dan keberlanjutan penerbangan apa yang dilakukan Menhub adalah berisiko tinggi. Terkait TBA, sebagaimana diatur dalam Permenhub No. 72 Tahun 2016, belum ditemukan adanya pelanggaran TBA oleh maskapai. Menhub dan Menteri Negara BUMN Rini Soemarno pun mengakui hal ini. Sebaliknya kondisi eksternal yang mempengaruhi struktur biaya dan TBA pesawat pun lebih keras, dibandingkan saat TBA ditetapkan pada 2016 yang lalu. Misalnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika, harga avtur, biaya pegawai, dll. Jika mengacu pada kondisi eksternal yang mempengaruhi struktur biaya pada tarif/tiket pesawat tersebut, maka seharusnya TBA itu dinaikkan, bukan malah diturunkan. Terbukti pada 2017 sejatinya INACA telah berteriak agar TBA dinaikkan, tapi tak mendapat respon hingga akhir 2018.

Baca juga : Menpar Salahkan Tiket Pesawat

Kendati belum melanggar batas TBA, aksi maskapai dalam menaikkan tarif tiket pesawat— terhitung sejak empat bulan terakhir, memang tampak ugal ugalan. Kenaikannya tak kepalang tanggung, antara 80-100 persen, bahkan lebih. Tentu saja besaran ini membuat kantong konsumen nyut nyutan dibuatnya. Walau jika dilihat demografinya, dari 100 jutaan penumpang dalam satu tahun, maka yang tertinggi adalah penumpang kategori PNS dan pegawai BUMN, yang naik pesawat dalam rangka tugas kedinasan (dibayari negara). Berikutnya adalah penumpang sektor swasta dan profesional, yang juga dalam rangka perjalanan dinas (dibayari perusahaan, institusi). Peringkat berikutnya adalah penumpang pesawat yang insidental melakukan perjalanan, seperti orang tua menengok anaknya dan sebaliknya. Penumpang inilah yang sensitif terhadap harga. Sedangkan yang paling buncit adalah penumpang karena perjalanan wisata, persentasenya paling buncit. Karena perjalanan wisata, umumnya hanya ramai saat liburan panjang, liburan sekolah, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.

Saya mengibaratkan tiket pesawat saat ini seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kita tahu sejak era Orde Baru, BBM disubsidi negara dengan sangat signifikannya. Sehingga harga BBM menjadi murah, bahkan waktu itu termasuk termurah di dunia. Kemudian, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, berangsur-angsur, subsidi BBM dicabut, hingga mencapai titik keekonomiannya (non subsidi). Pada saat inilah BBM yang dikonsumsi masyarakat adalah harga BBM tanpa subsidi negara, sehingga terasa lebih mahal. Dan itulah yang terjadi pada tiket pesawat; selama 13 tahun lebih semua maskapai memberikan aksi tarif promo, sehingga harga tiket pesawat murah, semurah murahnya, bahkan cenderung banting harga dan mengarah pada persaingan tidak sehat. Kini, baik karena kondisi internal dan atau eksternal, maskapai pesawat itu mulai menerapkan tarif non promo, alias non subsidi. Dan dampaknya, sebagaimana harga BBM, tarif pesawat pun menjadi melambung setinggi langit. Hanya bedanya, pemerintah dalam mencabut subsidi BBM dilakukan secara gradual, bertahap. Sehingga tidak menimbulkan shock bagi basyarskat, baik secara psikologis dan atau ekonomis. Sedangkan maskapai dalam mencabut subsidinya (tarif non promo), dilakukan secara tiba-tiba, serentak, dan Prosentasenya ugal ugalan pula.

Lalu, pelajaran apa yang bisa dipetik dari gonjang ganjing harga tiket pesawat ini? Pertama, pemerintah selaku regulator, wasit, seharusnya konsisten dengsn regulasinya. Sayangnya, Kemenhub dalam mengubah regulasi TBA lebih dominan karena persoalan tekanan publik, bahkan politis. Bukan karena pertimbangan ekonomi. Selepas ini, Kemenhub harus secara reguler mengevaluasi TBA, dan TBB. Setidsknya per enam bulan sekali, atau maksimal satu tahun sekali. Jangan berlarut, lebih dari tiga tahun. Kedua, maskapai juga harus punya empati dengan emosi konsumen. Naiknya tarif tiket yang ugal ugalan itu mencerminkan sikap yang kurang empati managemen maskapai kepada konsumen dan stakeholder lainnya. Patut diduga, melambungnya tiket pesawat itu setelah terjadi fenomena oligopoli maskapai, yakni Garuda Group versus Lion Group. Kita dorong agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempercepat hasil penyelidikannya terkait dugaan kartel. Jangan sampai “disalip” Bareskrim Mabes Polri yang tengah mengulik adanya unsur pidana dalam kasus tingginya tiket pesawat, dengan instrumen hukum Undang Undang Perlnidungan Konsumen. Dan ketiga, konsumen juga harus menyadari fakta bahwa bagaimana pun transportasi udara adalah transportasi yang mahal, karena padat modal dan padat teknologi. Dengan mahalnya tarif pesawat udara ada ruang bagi konsumen untuk bermigrasi ke moda transportasi yang lainnya. Apalagi untuk Pulau Jawa dan Sumatera, akses moda transportasi makin leluasa dengan tuntasnya pembangunan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera. Namun demikian negara tetap harus hadir untuk area yang isolated, mahalnya tiket pesawat bisa menutup akses daerah tersebut dari dunia luar.

Baca juga : YLKI Ragu Harga Tiket Pesawat Turun

Jangan sampai akibat karut karut marutnya masalah industri penerbangan di Indonesia menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk membuka keran penerbangan asing ke langit Indonesia. Sudah cukup Singapura dan Malaysia yang wira-wiri ke destinasi domestik di Indonesia akibat praktik open sky policy yang (rada) kebablasan. Ingat, Indonesia adalah captive market di sektor penerbangan yang paling menggiurkan di dunia! ***

Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.