Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Industri Pengolahan Mangkrak

Pengusaha Minta Pungutan Ekspor Sawit Berlaku Lagi

Sabtu, 18 Mei 2019 03:39 WIB
Direktur Eksekutif GIPNI Sahat Sinaga. (Foto: Ist)
Direktur Eksekutif GIPNI Sahat Sinaga. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pelaku industri hilir meminta pemerintah untuk menerapkan lagi pungutan ekspor sawit untuk produk hulu dan hilir. Jika pemberlakuan pungutan terus ditunda, banyak pabrik pengolahan sawit (refineri) yang bakalan mangkrak dan ekspor sulit bersaing.

Hal ini terungkap dalam silaturahmi media dengan tiga asosiasi industri hilir sawit yaitu Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), dan Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) di Jakarta, Kamis lalu.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, asosiasinya sudah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution supaya pungutan ekspor dapat segera diterapkan lagi. Selisih pungutan ekspor sawit sebesar 7,5 persen antara produk hilir dan mentah (CPO). Maka, pemberlakuan pungutan berdampak positif kepada masuknya investasi ke Indonesia.

Selain itu, tanpa pungutan ekspor, kapasitas refineri  CPO di Indonesia turun menjadi 30 persen hingga 35 persen dari sebelumnya mencapai 75 persen. Sahat mengatakan, penundaan pungutan ekspor sawit mengakibatkan refineri mangkrak seperti pabrik RBD dan food. Kondisi ini disebabkan tidak kompetitifnya daya saing produk hilir di pasar ekspor. 

Baca juga : Didampingi Pengacara, Kivlan Zen Penuhi Panggilan Bareskrim

"Kalau ekspor CPO masih dapat margin 2 sampai 3 dolar. Tetapi jika di industri hilir, ada biaya pengolahan dan transport. Akibatnya tidak dapat marjin karena kalah bersaing," ujar Sahat.

Menurut Sahat, dengan adanya pungutan ekspor, maka produk hilir dapat bersaing dengan Malaysia. Keunggulan Malayasia adalah suku bunga rendah dan handling cost. Sedangkan Indonesia unggul dari segi efisien karena mesin lebih modern.

Senada dengan GIMNI. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan juga setuju pungutan diberlakukan lagi. Dana pungutan ini dapat dipakai untuk program petani dan riset. 

"Karena penghapusan pungutan ini juga tidak berdampak kepada harga TBS petani," jelas Paulus.

Baca juga : Pengusaha Yang Nimbun Pangan Bisa Dipenjara

Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi terkait industri hilir, makanya kebijakan ini perlu dukungan pelaku usaha. Tujuannya menciptakan investasi baik dari dalam dan luar negeri sehingga dapat menciptakan lapangan kerja di masyarakat.

"Selain itu, pemerintah juga menerima pajak dari badan usaha dan perorangan. Makanya, pungutan segera diberlakukan supaya daya saing industri hilir tetap bagus," jelas Rapolo. 

Selama ini, harga patokan penetapan pungutan memakai Bursa Malaysia dan pasar komoditas Rotterdam. Sedangkan di dalam negeri, rujukan kepada Bursa komoditas ICDX. 

Dijelaskan Sahat, nantinya Kementerian Perdagangan membuat patokan harga melalui revisi peraturan. Pada Juni mendatang, Kementerian Perdagangan akan mempresentasikan konsep patokan harga kepada para stakeholder.

Baca juga : Kementan Garap Potensi Ekspor Kopi Wamena di Papua

Hingga semester I-2019, penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 8,7 juta ton. Sebagian besar kebutuhan digunakan untuk industri minyak goreng (makanan) dan FAME (biodiesel). [DIT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.