Dark/Light Mode

Tanpa DMO Batu Bara, Industri Semen-Tekstil Terancam Kolaps

Kamis, 21 Oktober 2021 13:32 WIB
Batu bara. (Foto: ist)
Batu bara. (Foto: ist)

 Sebelumnya 
Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna. “Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.

Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya. Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30-35 persen. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25-30 persen karena harga batu bara yang melambung.

Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen. “Bayangkan saja, stok balu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada jalannya produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.

Baca juga : Harga Batu Bara Meroket, Industri Dalam Negeri Teriak

Di sisi lain, Widodo mengingatkan, pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional. “Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industry dalam negeriserta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.

Sementara itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Yang cukup mencengangkan seperti dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita. 

“Ada 2 pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan 6 pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang dan Purwakarta. Kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait DMO batu bara,” ujarnya.

Baca juga : Hilirisasi Batubara, Menperin Genjot Industri Metanol

Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batu bara sudah terlampau tinggi. Harga batu bara yang berada di atas 170 dolar AS per metric ton telah membuat industri tekstil pusing karena biaya produksi meningkat. 

Selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batu bara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, namun juga bahan baku dari gasifikasi batu bara. 

Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25 persen dari keseluruhan struktur biaya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni untuk cost energi dan harga bahan baku akibat harga batu bara juga,” ujar Redma. [DIT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.