Dark/Light Mode

Mahfud Dorong Jaksa Agung Usut Proyek Satelit Kemenhan

Kamis, 13 Januari 2022 19:46 WIB
Menko Pollhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait dugaan pelanggaran proyek satelit Kemenhan bersama Jaksa Agung ST Bahruddin di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/1). (Foto: Istimewa)
Menko Pollhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait dugaan pelanggaran proyek satelit Kemenhan bersama Jaksa Agung ST Bahruddin di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/1). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Menteri Koordiantor bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendorong agar Kejaksaan Agung tak ragu-ragu menuntaskan perkara pelanggaran serius di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Yakni pengadaan layanan dan jasa yang membuat Indonesia terkena sanksi arbitrase.

Pengadaan ini dikatakan Mahfud, dilakukan oleh pihak Kemenhan tahun 2015. Saat itu pihak Kemhan melakukan tanda tangan proyek pengadaan satelit komunikasi pertahanan dengan beberapa perusahaan. Salah satunya adalah dengan PT Avanti Communication Limited (Avanti) sebagai pengelola satelit artemis berupa floater.

Floater tersebut merupakan satelit sementara pengisi orbit, untuk mengakomodir kebutuhan pembanguan satelit komunikasi pertahanan tersebut.

"Pengadilan mewajibkan kita membayar uang yang sangat besar. Padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum, yaitu Kemhan pada tahun 2015 melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu padahal anggaran belum ada (tapi) dia kontrak," kata Mahfud MD dalam konferensi persnya bersama Jaksa Agung ST Bahruddin di Kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/1).

Saat kontrak dibuat, sebetulnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum dianggarkan. Sehingga memang tidak ada slot anggaran yang akan dikonsentrasikan untuk pengadaan kebutuhan satelit komunikasi pertahanan tersebut.

Sayangnya, selain dengan Avanti, Kemenhan saat itu juga menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan lain di saat situasi belum ada keputusan soal alokasi APBN. Yakni Navayo, Airbus, Detente, Logan Lovell, dan Telesat. Kontrak tersebut dilakukan antara 2015-2016.

Baca juga : Jasa Marga Bangun Hotel Di Rest Area Jalan Tol

Menurut Mahfud, apa yang terjadi saat itu adalah sebuah pelanggaran prosedur yang sangat serius dan perlu ditindaklanjuti. "Berdasar kontrak tanpa adanya alokasi anggaran negara itu melanggar prosedur," ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, karena memang tidak ada alokasi anggaran sehingga Kementerian Pertahanan tidak bisa membayar ketetapan berdasarkan kontrak yang dibuat. Kondisi ini akhirnya berdampak serius, dimana Avanti menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase di Inggris.

"Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani," jelasnya.

Dari putusan majelis hakim pengadilan arbitrase di London tersebut, pada tanggal 9 Juli 2019 pemerintah dituntut membayar denda sebesar setengah triliun.

"Pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," jelas Mahfud.

Angka sebesar itu baru pada tuntutan dari Avanti saja, sementara faktanya beberapa perusahaan lain juga menggugat Indonesia di pengadilan arbitrase Singapura, yakni Navayo.

Baca juga : Hadapi Omicron, Vaksin Masih Efektif Cegah Tingkat Keparahan

Dari penjelasan Mahfud, Navayo yang sudah tanda tangan kontrak dengan Kemenhan menyerankan barang yang ternyata tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Sayangnya, produk yang diserahkan tetap diterima oleh Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017. Sehingga kontrak berjalan dan pemerintah terkena tagihan pengunaan alat tersebut.

Kemudian Navayo mengajukan tagihan sebesar 16 juta dolar Amerika kepada Kemenhan, sementara pemerintah tidak bersedia membayar tagihan itu sehingga membuat perusahaan tersebut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase Singapura dengan tuntutan uang yang sangat fantastis.

"Berdasarkan putusan pengadilan arbitrase Singapura, tanggal 22 Mei 2021 Kemenhan harus membayar 20.901.209 dolar Amerika kepada Navayo," tandasnya.

Sayangnya, potensi kerugian negara akibat kesalahan fatal kontrak ini masih berlanjut. Karena beberapa perusahaan lain juga berpotensi melakukan gugatan yang sama.

"Selain sudah kita dijatuhi hukuman arbitrase di Inggris dan Singapura, negara berpotensi ditagih lagi Airbus, Detente, Logan Lovell, dan Telesat. Sehingga banyak sekali kalau kita tidak segera selesaikan akan banyak," tandasnya.

Oleh karena itu, Menko Polhukam memberikan dorongan kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti secara tegas dan cepat. "Kami minta Kejaksaan Agung mempercepat proses ini," harapnya.

Baca juga : Kejagung Uber Aset Tersangka Asabri Sampai Ke Amerika...

Selain itu, Mahfud juga menegaskan, berbagai kerugian negara yang ada harus dibebankan kepada pembuat kontrak. "Karena kalau ada sebuah pelanggaran hukum dalam sebuah kontrak dan kita harus membayar maka kita harus lawan. Dan yang bertanggung jawab ya yang membuat kontrak itu, karena belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN bahwa harus melakukan pengadaan itu," urai Mahfud.

Terakhir, ia mengatakan bahwa kasus ini sudah disampaikan kepada Presiden, dan hasilnya kepala negara sudah memerintahkan dirinya untuk segera menuntaskan kasus tersebut.

"Saya juga sudah bertemu dan berdiskusi dengan Menteri Pertahanan, Menkominfo, Menteri Keuangan, Panglima TNI. Hari Rabu kemarin saya melaporkan kepada Bapak Presiden, dan Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," sambung Mahfud.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.