Dark/Light Mode

Soal Amandemen dan GBHN, Jokowi Nolak Maunya PDIP

Kamis, 15 Agustus 2019 07:24 WIB
Presiden Jokowi. (Foto: Antara).
Presiden Jokowi. (Foto: Antara).

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Jokowi angkat bicara soal riuhnya amandemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali GBHN alias Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dipake di zaman Orde Baru.

Jokowi menolak usulan yang selama ini paling getol disuarakan para politisi PDIP itu. Usulan amandeman UUD 1945 merupakan salah satu hasil rekomendasi kongres PDIP di Bali, pekan lalu. Lalu, kenapa Jokowi menolak?

“Saya khawatir merembet ke mana-mana,” kata Jokowi dengan wajah serius, kepada Para Pemred di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

Kekhawatiran Jokowi ini wajar. Misalnya, saat ini berkembang wacana agenda amandemen itu terkait pemilihan presiden dikembalikan lagi ke MPR. Juga ada lagi yang usul masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode.

“Nanti dikira saya yang mau,” kata Jokowi menjawab soal wacana jabatan presiden bisa lebih dari dua periode. Soal presiden dipilih lagi oleh MPR, Jokowi dengan tegas menolak.

“Lha wong saya ini presiden yang dipilih rakyat,” tegasnya. Bagaimana dengan wacana dihidupkannya kembali GBHN? Jokowi menilai, hal itu tidak relevan di saat kondisi global seperti sekarang yang berubahnya secara cepat.

Baca juga : Mahathir dan Jokowi Salat Jumat di Masjid Putra Jaya

“Dunia bergerak begitu cepat dan dinamis. Kita harus bisa merespons dan punya perencanaan yang fleksibel untuk merespons perubahan itu. Apa yang kita rencanakan bisa berubah besok,” tandas eks Gubernur DKI Jakarta itu.

Lebih jauh Jokowi menyebut, saat ini kita sudah punya haluan-haluan yang terencana pula. Kita memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai pengganti GBHN.

Dalam SPPN juga mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode setiap lima tahun.

Jokowi pun menilai, rencana pembangunan yang dibutuhkan Indonesia adalah rencana yang dinamis dan bisa dengan cepat mengantisipasi perubahan. Kekhawatiran Jokowi juga disuarakan Wapres Jusuf Kalla.

JK mengingatkan risiko yang mungkin terjadi dalam amandemen UUD 1945. Salah satunya, bisa saja Presiden kembali dipilih MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

“Itu rumit lagi, berisiko. Banyak perubahan yang rakyat belum tentu setuju,” kata JK. Ketum Partai Nasdem Surya Paloh menilai wacana amendemen UUD 1945 perlu kajian. Paloh menyebut partainya di parlemen akan melihat urgensi amendemen tersebut.

Baca juga : Beresin Kebakaran Hutan, Jokowi Main Keras

“Kalau kita anggap ini sudah paling bagus, semakin mendekati cita-cita kemerdekaan, ngapain kita ubah,” ujarnya. Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding juga menilai, amandemen terbatas UUD 1945 terlalu berisiko.

Tidak tertutup kemungkinan pembahasan amandemen itu justru melebar ke mana-mana. “Problemnya hari ini adalah kita berada di wilayah politik,” ujarnya.

Partai Gerindra juga menilai, amandemen UUD 1945 berisiko mengembalikan kewenangan MPR memilih dan memberhentikan presiden.

“Ditambah lagi soal periode jabatan presiden yang saat ini dibatasi dua kali bisa kembali tak terbatas seperti sebelum reformasi. Hal tersebut berarti kemunduran demokrasi,” kata Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Habiburokhman.

Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan, amandemen dibutuhkan demi masa depan bangsa. Amandemen, tidak dilakukan untuk kembali ke masa lalu. Sebaliknya, untuk masa depan.

“Agar Indonesia bisa bergerak maju, terencana, dan bisa menjadi pemimpin di antara bangsa-bangsa,” kata Hasto.

Baca juga : Soal Pemasangan AIS, Ini Sikap Pelni

Menurut Hasto, amandemen terbatas justru akan menjadi warisan kepemimpinan Presiden Jokowi yang visioner. “Pak Jokowi itu kader PDIP. Apa yang telah dilakukan Presiden Jokowi justru akan menjadi dasar bagi rancangan haluan negara tersebut,” tutur dia.

Melalui amandemen pula, bakal ada keberlangsungan konsepsi kepemimpinan Jokowi pada posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Semuanya diletakkan dalam cita-cita 50 hingga 100 tahun ke depan.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut PDIP arogan.

“Saat dia tahu posisi suaranya lebih banyak dari yang lain, justru kelihatan arogansinya. Ingin mengatur negara ini hanya karena dia mendapatkan suara paling banyak,” kritiknya.

Lucius mengingatkan, sikap PDIP dalam proses revisi Undang-Undang No- mor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Saat itu, PDIP paling lantang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup.

“Saya kira ada kesamaan jalan pikiran antara keinginan dia sebelumnya untuk mengembalikan sistem pemilu kita menjadi sistem tertutup dengan wacana mengembalikan GBHN dalam amendemen UUD 1945, menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, ini semua adalah gaya berpikir yang pernah menghancurkan demokrasi kita, yaitu gaya berpikir Orde Baru,” tuding Lucius. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.