Dark/Light Mode

Diungkap Menkes

Rebutan Vaksin Covid-19 Antar Negara Kian Sengit

Sabtu, 10 April 2021 07:16 WIB
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Foto: Net)
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Foto: Net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Vaksin Covid-19 menjadi rebutan antarnegara di dunia. Persaingan ini kian ketat setelah beberapa negara menerapkan embargo vaksin.

Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, kemarin. Menurutnya, rebutan vaksin bisa terjadi karena besarnya kebutuhan. Sementara kapasitas produksi sangat terbatas.

“Dibutuhkan 11 miliar dosis vaksin Covid-19 untuk disuntikkan ke 70 persen untuk penduduk dunia,” katanya.

Sementara kapasitas produksi vaksin saat ini, kata eks Direktur Utama PT Inalum (Persero) itu, berada di kisaran 3 sampai 4 miliar dosis vaksin. Dalam kondisi ini, Pemerintah Indonesia harus putar otak. Salah satu usahanya dengan memesan vaksin tidak hanya satu merek saja.

“Nah, strategi kami dari awal memutuskan empat merek dari empat negara. Sinovac (China), AstraZeneca (Inggris), Novavax (AS dan Kanda) dan Pfizer (AS dan Jerman,” terang Budi Gunadi.

Baca juga : Menag: Yang Belum Divaksin Covid, Nggak Bisa Umroh

Faktor kedua yang membuat vaksin jadi rebutan adalah adanya nasionalisasi vaksin Covid19. Hal ini dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang sejak awal tidak mengizinkan vaksin yang diproduksi di negara tersebut diekspor.

Kini, India melakukan hal sama. Di sana, terjadi kenaikan angka infeksi Covid-19 yang tinggi, sehingga negara itu merasa memiliki hak menahan merk vaksin AstraZeneca yang mereka produksi.

Padahal, sudah ada perjanjian dengan aliansi vaksin Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI).

“Ini sama seperti yang diterapkan pada negara lain, salah satunya seperti Amerika Serikat. Mereka itu ingin vaksin untuk warganya dulu, meski sudah ada perjanjian dengan GAVI,” terangnya.

Budi Gunadi mengatakan, ada 100 juta dosis vaksin Covid-19 yang tidak pasti jadwal kedatangannya ke Indonesia karena kebijakan embargo di beberapa negara.

Baca juga : Vaksinasi Telat Dua Bulan, Pembukaan Wisata Molor

Jumlah 100 juta dosis vaksin yang terganggu itu, didatangkan melalui dua mekanisme, yaitu melalui multilateral dengan GAVI sebanyak 54 juta secara gratis. Lalu lewat bilateral melalui Bio Farma dan AstraZeneca sebanyak 50 juta.

Yang pertama kali bermasalah, kata Budi Gunadi, adalah pengadaan Covax GAVI lantaran ada embargo dari India.

Karena suplai vaksin dari India mengalami hambatan, GAVI pun melakukan realokasi.

Indonesia yang seharusnya menerima 11 juta vaksin pada Maret-April, hanya mendapat 1 juta. Sisanya, kata Budi, diundur pada Mei 2021.

“Mereka juga belum bisa memberikan konfirmasi. Karena itu menjadi tidak pasti,” ucap Budi Gunadi

Baca juga : Penanganan Covid-19 Indonesia Relatif Lebih Baik Dibandingkan Global

Sementara, 50 juta vaksin melalui mekanisme bilateral, dia mengatakan, pihak AstraZeneca Indonesia hanya bisa mendatangkan 20 juta dosis di tahun ini. Sedangkan 30 juta sisanya, diundur ke 2022.

Masalahnya, tak cuma India. Banyak negara-negara Eropa dan beberapa negara di Asia seperti, Filipina, Papua Nugini, serta beberapa negara di Amerika Selatan seperti Brazil, yang mengalami lonjakan ketiga dari kasus aktif Covid-19 dan akhirnya melakukan embargo.

“Repot, jika vaksin hanya boleh dipakai di negara produsen masing-masing. Imbasnya, Indonesia akan kelimpungan mengejar target vaksinasi,” pungkasnya. [JAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.