Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Sebagai bangsa maritim, nelayan adalah tulang punggung Indonesia. Terutama ketika kita berbicara soal kedaulatan pangan yang bersumber dari laut. Terkait kedaulatan pangan, sejak tahun 2000, jika kita melihat hasil penelitian Badan Pangan Dunia (FAO), sebetulnya sudah menjadi alarm bagi kita bahwa ketika suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa, tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat jika kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Oleh karena itu, bersama petani, nelayan adalah garda terdepan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Menurut data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021, pada tahun 2010, jumlah nelayan tercatat sebanyak 2,16 juta orang. Namun sayangnya, pada tahun 2019, jumlahnya tercatat hanya 1,83 juta orang. Bisa kita simpulkan, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang 2010-2019.
Jika melihat catatan Walhi, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Terkait krisis iklim, menurut Walhi, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat. Jika cuaca di laut tidak bersahabat, maka nelayan tidak bisa pergi melaut.
Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut.
Baca juga : Pengamat: Itu Program Pro Rakyat
Akibat krisis iklim, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. Kondisi inilah yang memaksa nelayan di Indonesia beralih profesi (Walhi, 2022).
Tingginya Ongkos BBM
Selain krisis iklim, menurut Dani Setiawan, Ketua Umum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) Periode 2022-2027, di lapangan nelayan tradisional di wilayah pesisir Indonesia cenderung berada pada level bawah piramida sosial ekonomi Indonesia dan masih banyak hidup dalam kemiskinan.
Dani menambahkan, kebutuhan bahan bakar minyak bagi nelayan kecil jumlahnya sangat besar. Sebab, 40-70 persen ongkos laut dikeluarkan untuk BBM. Bagi intelektual cum aktivis tersebut, kebutuhan BBM komponen penting dan tidak bisa dihindari dan akses BBM bersubsidi merupakan keberpihakan pada nelayan dan prioritas yang harus dilakukan Pemerintah.
Baca juga : Program Solusi, Perbaiki Akses Solar Buat Nelayan
Program Solusi untuk Nelayan
Di tengah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan bagi nelayan tadi, ada secercah harapan bagi pahlawan kedaulatan pangan hasil laut yaitu hadirnya Program Solar untuk Koperasi (Solusi) Nelayan yang diluncurkan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada 5 September 2022.
Program Solusi tersebut bertujuan untuk memberikan BBM jenis solar kepada koperasi nelayan. Erick Thohir menjelaskan, program tersebut dimulai di tujuh titik dan akan dijalankan selama tiga bulan. Jika berjalan dengan baik, pada Desember 2022 program tersebut akan dijalankan di seluruh Indonesia.
Mantan bos Inter Milan tersebut menambahkan, pemerintah mencoba membantu para nelayan yang kesulitan karena adanya pengurangan subsidi BBM. Ia menegaskan bahwa pemerintah hadir untuk memberikan solusi kepada nelayan.
Baca juga : Erick Resmi Luncurkan Program Solusi Untuk Nelayan Di Cilacap
Langkah taktis dan kolaboratif yang dilakukan Menteri BUMN dan Menkop UKM dalam program Solusi Nelayan patut untuk didukung di tengah kelangkaan dan naiknya harga BBM. Bahkan ketika Program Solar Untuk Koperasi (Solusi) Nelayan kali pertama direalisasikan yang bertempat di Pelabuhan Perikanan Samudera, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu 17 September kemarin, Menteri BUMN memastikan melalui Program Solusi Nelayan memberikan akses harga BBM (Solar) Rp 6.800 per liter. Padahal sebelumnya para nelayan harus merogoh kocek Rp 7.000 hingga Rp 10 ribu per liter.
Terobosan kebijakan dua kementerian di atas seyogyanya dapat dijadikan best practice oleh satuan pemerintah yang lain dalam merespons kenaikan harga BBM dengan mengeluarkan kebijakan yang inovatif, kolaboratif, taktis, dan tepat sasaran (melalui koperasi). Sehingga dapat meringankan masyarakat, utamanya bagi mereka yang sangat bergantung pada BBM untuk menjalankan roda kehidupannya. Terlebih jika kelompok tersebut merupakan salah satu “penjaga” kedaulatan pangan bangsa ini.■
Fahmi Syahirul Alim, Pemerhati Kebijakan Publik
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya