Dark/Light Mode

Potret Para Pahlawan Nasional Indonesia dari Etnis Tionghoa

Sabtu, 24 September 2022 00:50 WIB
Canva made by Anisa
Canva made by Anisa

Anisa Jayanti, mahasiswi S2 Pengkajian Islam, Konsentrasi Ilmu Hubungan Internasional, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

(*)

Pada Minggu, 4 September 2022, Gus Ayang Utriza Yakin sebagai Muasis KAYFA.ID yang kini tinggal di Belgia, mengadakan webinar. Temanya, Jejak Tionghoa dalam Kemiliteran Indonesia, dengan narasumber, sejarawan Didi Kwartanada. 

Mengulik jejak Tionghoa dalam dunia militer di Indonesia khususnya, memang masih tak lazim di benak masyarakat. Sebab pada umumnya, profesi mereka diindentikkan dengan berbisnis di korporasi multinasional, atau pun independen secara ekonomi, berdagang, dengan membuka gerai toko dan kios. Lalu, bagaimana sesungguhnya potret para pahlawan nasional dari etnis Tionghoa ini? 

John Lie

John Lie (1911-1988) adalah perwira beretnis Tionghoa dari TNI Angkatan Laut (AL). Dia memiliki kedekatan khusus dengan Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI alias orang kepercayaan Hatta. John Lie bagi Hatta adalah "penyelundup ulung", dalam menjalankan misi pertahanan untuk urusan luar negeri, karena terus menerus berhasil menyelundupkan senjata dengan menembus blokade Belanda. 

Dalam majalah internasional Life, ia mendapat julukan “Raja Penyenludup Senjata dari Asia Tenggara” [Ignatius Slamet Rijadi, “Mengusir Kampeitai sampai Menumpas RMS”, Jakarta : Gramedia, 2008, hal 218]

Menurut Jenderal Besar A. H. Nasution, prestasinya tidak diragukan lagi, karena memiliki dedikasi dalam menjaga keutuhan NKRI dengan operasi-operasi penting, yakni gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) pada 1950, PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) 1958, Permesta (Perjuangan Semesta) 1957, dan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). [Ahmad Najib Burhan, dkk, “Dilema Minoritas di Indonesia : Ragam, Minoritas dan Kontroversi”, Jakarta: Gramedia, 2020) hal. 70]

Baca juga : Hadapi Transformasi Digital, Indonesia Butuh Banyak Talenta

Masih menurut Nasution di buku di atas, prestasi John Lie “tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi republik”. 

John Lie juga Kristen yang taat, dermawan, bahkan menjadikan 2 Bible sebagai senjatanya dalam bertugas; satu Bible bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dalam majalah Life edisi 26 September 1949, John Lie dijuluki “Guns and Bibles are smuggled to Indonesia” (Senjata dan Al Kitab diselundupkan ke Indonesia). [Yunus Yahya, “Peranakan Idealis : Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya”, Jakarta, Gramedia, 2002) hal 140]  

Meski Kristen yang agamis, namun dia tak tebang pilih menolong masyarakat Aceh yang mayoritas Muslim, untuk mengusir penjajah Belanda di Indonesia, dengan penyelundupan senjata perang melalui jalur laut. [OPY dan Dudi Akbar, “The Greatest Tionghoa Hero” hal. 21, Depok : Wama Smudera, 2018) hal 21, 27 dan 28]

John Lie pernah ditanya oleh Laksamana M. Pardi, mengapa ingin bergabung dengan TNI AL. Jawaban John Lie, “Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut”, katanya.  [Yudi Latif, “Air Mata Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan”, Jakarta: Mizan, 2014. Lihat tentang John Lie]

Ada salah satu kapal laut yang terkenal, The Outlaw, yang dalam sejarah tercatat kapal ini dapat menerobos blokade Belanda, dinahkodai oleh John Lie bersama anak buah kapalnya. Isi kapal ini senjata untuk keperluan militer. John Lie mengambil pasokan senjata ternyata sangat jauh dari rute Singapura, Malaysia kemudian Phuket Thailand sampai ke Aceh. [Yunus Yahya, “Peranakan Idealis : Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya”, Jakarta, Gramedia, 2002) hal 139]  

Kapalnya sempat diburu, namun selalu lolos, hingga Belanda tak curiga. Awalnya ingin menembaki, namun ternyata The Outlaw berlalu begitu saja. 

Ada pula hal di luar nalar, mengapa John Lie selalu lolos dari incaran dan serangan Belanda dalam misi lautnya. Yakni ketaatannya kepada Tuhan. Jenderal A. H. Nasution memberi kesaksian bahwa dia mengakui itu, “John Lie adalah perwire domine. Ketaatannya kepada Tuhan Allah adalah lebih tinggi daripada kepada manusia siapapun”. [Yunus Yahya, “Peranakan Idealis : Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya”, Jakarta, Gramedia, 2002) hal 140]  

Baca juga : Pelajar Islam Indonesia Ajak Dunia Jaga Keselamatan Etnis Uighur

BBC London dalam radionya menyebut “Black Speed Boat”, [Yunus Yahya, “Peranakan Idealis : Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya”, Jakarta, Gramedia, 2002) hal 137] laksana “Si Hantu Laut Selat Malaka” menembus blokade Belanda. 

John Lie meninggal pada 1988. Nama lengkapnya adalah Jahja Daniel Dharma, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan sebagai pahlawan nasional. [OPY dan Dudi Akbar, “The Greatest Tionghoa Hero” hal. 21, Depok : Wama Smudera, 2018) hal 19]

Selain dinobatkan menjadi pahlawan nasional, namanya juga diabadikan pada kapal perang TNI AL, KRI John Lie 358. [CNN IndonesiaMembedah Spesifikasi Canggih KRI John Lie” (diakses 16 Sep 2022)]

Tedy Yusuf 

Tedy Yusuf yang dikenal dengan Him Tek Ji atau Xiong Deyi adalah Brigadir Jenderal di era Rezim Orde Baru Soeharto. Ia masuk dunia militer pada 1965 sebagai perwira TNI junior dan menduduki posisi jabatan Brigadir Jenderal pada 1994 di TNI Angkatan Darat (AD). 

Tedy Yusuf menjadi Ketua Komunitas Paguyuban etnis Tionghoa Indonesia pasca rezim Soeharto tumbang. [Leo Suryadinata, “Prominent Indonesian Chinese” (Singapore : ISEAS Publishing, 2015)  hal. 84]

Dia menulis buku untuk menggambarkan bagaimana dirinya masuk ke dunia militer tidak dengan mudah, karena adanya diskriminasi rasialis sebagai warga etnis Tionghoa. Namun Tedy Yusuf tak peduli dengan perploncoan tersebut. 

Baca juga : Ganjar-Erick, Duet Terkuat

Ketika awal pendidikannya di dunia militer, bahkan dia mengalami panggilan-panggilan yang bersifat peyoratif (hinaan). Karena itu, dia menulis buku “Kacang Mencari Kulitnya”. 

Julukan “monyet” ditulis di karton, lalu digantung di dada oleh para senior pribumi, kemudian ditanya namanya siapa oleh senior. Ketika senior tahu namanya, lantas menyebut, “Cina lu ya”, kemudian diperintahkan lari mengelilingi lapangan basket 10 kali. Tedy pada saat itu hanya berkata “Siap” saja. Kemudian dipanggil “Singkek” yang artinya “Tamu Baru”, hingga juga dipanggil “Monyet Singkek”. 

Memoar tersebut membekas. Tedy juga sangat mengingat momen-momen dimana dia ditempeleng, dipukul, ditendang habis-habisan. Hingga diakui Tedy kadang terlintas menghentikan pendidikan militernya. 

Untungnya, ada taruna senior berpakaian loreng membawa tongkat dengan simbol PP (Polisi Pengemblengan), yang akhirnya menghentikan perploncoan itu.

Tedy berpikir, yang dia alami itu, akibat sentimen rasialis karena dirinya orang Tionghoa. 

Dalam buku The List of Prominent Indonesia Chinese, dituliskan bahwa karier Tedy Yusuf di militer begitu melejit hingga menjadi Brigadir Jenderal pada 1994, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk Fraksi Angkatan Bersenjata ABRI pada 1996 – 1999. 

Tantangan menjadikan dirinya seperti emas yang ditempa. [Leo Suryadinata, “Prominent Indonesian Chinese” (Singapore : ISEAS Publishing, 2015)  hal. 84] 

Jadi pada hakikatnya, para pahlawan nasional pun juga ada dari kalangan etnis Tionghoa. Artinya, mereka pun nasionalis, bahkan juga telah terbukti ikut serta mempertahankan kemerdekaan RI. Namun sayang sekali, narasi sejarah itu jarang sekali dimunculkan. Bahkan ada kesan, masih banyak yang tak memperdulikannya. (*) 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.