Dark/Light Mode

Puan Amal Hayati Bedah Pro-Kontra Khitan Perempuan

Rabu, 23 Agustus 2023 13:27 WIB
Bahtsul Masail mengenai khitan perempuan yang digelar Yayasan Puan Amal Hayati, di Griya Patria Guest House, Jakarta Selatan, Selasa (22/8). (Foto: Dok. PAH)
Bahtsul Masail mengenai khitan perempuan yang digelar Yayasan Puan Amal Hayati, di Griya Patria Guest House, Jakarta Selatan, Selasa (22/8). (Foto: Dok. PAH)

RM.id  Rakyat Merdeka - Yayasan Puan Amal Hayati (PAH) menyelenggarakan Bahtsul Masail (diskusi keagamaan) untuk membahas isu Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) alias khitan pada perempuan, di Griya Patria Guest House, Jakarta Selatan, Selasa (22/8). Dengan mengundang para pakar, Bahtsul Masail ini bertujutan membuka ruang dialog antartokoh dan pemikir Muslim, dengan menggali perspektif hukum Islam, memproduksi pengetahuan terkait upaya pencegahan serta mendorong kajian ke-Islaman yang menolak praktik P2GP.

Ketua Yayasan PAH Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid menyatakan, perlu diungkapkan alasan-alasan logis yang menunjukkan bahaya praktik P2GP. Sebab, ia khawatir akan adanya praktik ilegal khitan perempuan itu.

“Apabila praktik ini tidak dihentikan, kekhawatiran saya adalah terjadinya praktik-praktik ilegal dalam perbuatan itu. Sehingga, korban akan bertambah banyak tanpa ada yang bertanggung jawab,” tuturnya, sesaat sebelum membuka kegiatan, seperti keterangan yang diterima RM.id, Rabu (23/8).

KH Husein Muhammad, ulama yang concern pada isu hak-hak perempuan, memaparkan dua Hadits Nabi tentang praktik pemotongan bagian genitalia perempuan. Menurutnya, dua Hadits itu menunjukkan sebuah proses transformasi budaya.

“Yang tadinya memotong habis, (kemudian hanya sebagian). Jadi, Nabi melakukan proses transformasi kebudayaan. Seharusnya kita melanjutkan (menjadi) tidak memotong,” paparnya.

Baca juga : BRI Edukasi Nasabah Dari Modus Soceng Kejahatan Perbankan

Ulama kelahiran Cirebon ini mengutip pendapat Al-Hafidh Ibnu Mundzir (wafat 309 H) yang menyatakan, tidak ada satu pun Hadits yang dapat digunakan untuk melegitimasi praktik sunat perempuan. Hal ini disebabkan haditsnya dinilai lemah. Ia juga mengutip fatwa Dewan Fatwa Mesir dan hasil Muktamar Ulama Dunia tahun 2006 yang melarang praktik tersebut berdasarkan pertimbangan medis.

Dari perspektif lain, Maria Ulfah Anshor, penulis buku Fikih Aborsi, menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa praktik khitan perempuan ini dilakukan atas anjuran tokoh agama melalui pengajian. Demikian juga orang yang tidak melakukan praktik tersebut, sama terdorong melalui pengajian tokoh agama. “Jadi, mereka yang menolak maupun yang menjalankan, argumentasinya adalah (tokoh) agama,” beber ulama kelahiran Indramayu ini.

Sementara, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Nur Rofiah menegaskan pentingnya menyadari perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki. Sebab, banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Misalnya, secara anatomi dan fungsi reproduksi. Secara sosial, sunat perempuan juga diyakini berbeda dengan sunat laki-laki.

Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang masih sering diabaikan, ia menekankan pentingnya menyajikannya secara komprehensif sebagai salah satu strategi dalam upaya menghentikan praktik ini. “Strategi yang harus dibangun adalah memberikan perbedaan secara komprehensif dari A sampai Z, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara sosial. Termasuk dalil-dalilnya,” tekannya.

Ia juga menekankan pentingnya mengajarkan materi P2GP kepada para mahasiswa kedokteran. Namun, materi yang diajarkan bukan terkait prosedur, melainkan bahayanya. Sehingga dokter dan bidan itu lulus dengan pengetahuan bahwa P2GP itu berbahaya.

Baca juga : Ziva Magnolya, Merah Merona Di Istana

Di kesempatan yang sama, Ustaz Ibnu Kharish mengutip kaidah dari Syekh Wahbah az-Zuhaili, bahwa ketika ada pendapat fikih bertentangan dengan pendapat medis, yang didahulukan adalah pendapat ahli medis.

Kaidah yang disebutkan itu dipakai Az-Zuhaili dalam konteks haid. Menurutnya, kaidah itu juga bisa dipertimbangkan untuk digunakan jldalam konteks P2GP.

Ditinjau dari aspek regulasi, Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin menerangkan, terdapat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A tahun 2008 mendukung praktik P2GP. Di dalamnya, dinyatakan bahwa khitan perempuan sebagai pemuliaan bagi perempuan. Bahkan dinyatakan secara eksplisit, baik khitan laki-laki maupun perempuan adalah fitrah, aturan, dan syiar Islam.

Fatwa MUI itu menunjukkan keragaman pendapat para ulama dalam memandang P2GP. Karena itu, menurut Lukman Hakim, perlu dijelaskan masing-masing konteks yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tersebut.

“Jadi, kontekstualisasi dari masing-masing pendapat keagamaan terkait dengan sunat perempuan itu perlu dijelaskan. Karena hukum itu berubah-ubah sesuai konteksnya,” ujarnya.

Baca juga : Piala AFF U-23, Beckham Janjikan Permainan Terbaik

Problem di lapangan tidak lebih baik. Sebagaimana dikisahkan Atashendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan. Kata dia, bidan sebagai tenaga medis sering mendapat pengusiran oleh warga ketika menolak untuk melakukan tindakan P2GP.

“Yang di atas, para elite bilang melarang. Tapi apa yang terjadi di bawah? Bidan diusir dari desa kalau tidak menyunatkan,” kisahnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.