Dark/Light Mode

Pemilu Di Tengah Ketidakstabilan

Oposisi Thailand Diprediksi Menang

Jumat, 12 Mei 2023 21:54 WIB
Seorang pendukung Partai Maju memegang poster bertuliskan “Saya memilih Maju, Pilih Pita untuk menjadi Perdana Menteri berikutnya”, dalam kampanye di Bangkok, Thailand, 11 Mei 2023. (Foto AP/Sakchai Lalit)
Seorang pendukung Partai Maju memegang poster bertuliskan “Saya memilih Maju, Pilih Pita untuk menjadi Perdana Menteri berikutnya”, dalam kampanye di Bangkok, Thailand, 11 Mei 2023. (Foto AP/Sakchai Lalit)

RM.id  Rakyat Merdeka - Besok, warga Thailand akan melaksanakan hak pilihnya dalam pemilu Thailand 2023. Pesta demokrasi kali ini berjalan di tengah ketidakstabilan dalam berbagai bidang di Negeri Gajah Putih.

Sejumlah prediksi menyebut, oposisi bakal mendapatkan suara mayoritas warga yang menginginkan perubahan. Namun, hal tersebut malah seperti buah simalakama. Muncul kekhawatiran, jika opisisi menang, bahwa transisi demokrasi akan mengalami hambatan.

Perdana Menteri (PM) petahana Prayuth Chan-ocha kembali mencalonkan diri. Namun, pencalonannya terjadi di tengah ekonomi yang merosot dan respons yang dianggap tidak tepat dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Mayoritas rakyat Thailand yang menuntut perubahan, sudah muak karena campur tangan militer dalam kehidupan warga.

Seperti diketahui, Thailand telah mengalami belasan kudeta sejak menjadi monarki konstitusional pada 1932. Kudeta terakhir terjadi pada 2014, dipimpin Prayuth, saat dia menjadi komandan militer. Namun, Pemerintah pimpinan Prayuth tidak seperti yang diharapkan rakyat.

Dengan pembatasan demokrasi dan pembungkaman aktivis demokrasi, Profesor Antropologi Universitas Chiang Mai Pinkaew Laungaramsri mengatakan, faktor utama keengganan warga terhadap militer, karena tidak lagi mau mentolerir pemerintahan otoriter.

“Ada keinginan yang signifikan­ untuk perubahan di antara masyarakat,” kata Laungaramsri, dilansir Associated Press, kemarin.

Baca juga : Beli Mall Di Singapura 9 Triliun, Sukanto Tanoto Tajir Banget

Pemilu Thailand besok akan diikuti 70 partai politik. Memperebutkan sekitar 500 kursi parlemen. Sebanyak 400 dipilih secara langsung, sedangkan 100 lainnya dipilih melalui bentuk perwakilan proporsional.

Partai-partai oposisi yang mendukung reformasi untuk mengendalikan militer, tampak semakin unggul dalam jajak pendapat. Namun, melontarkan kebijakan yang mengancam status quo membuat para penguasa konservatif yang berkuasa waspada.

Apalagi selama ini bukti menunjukkan, militer mampu menjatuhkan Pemerintah yang dipilih secara sah, melalui putusan di pengadilan dan kudeta militer.

PM Prayuth mewakili satu kutub politik negara, berpusat di sekitar kaum royalis dan militer. Sementara eks PM Thaksin Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta 2006, mewakili yang lain.

Perebutan kekuasaan antara pendukung Thaksin dan lawan-lawannya telah terjadi. Baik di jalanan maupun di bilik suara, selama hampir dua dekade.

Hasil jajak pendapat terkini, posisi Prayuth tertinggal jauh di belakang putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra, yang mewarisi popularitas dan gaya politik ayahnya. Dia gencar berkampanye saat hamil tua dan melahirkan seorang anak laki-laki pekan lalu.

Paetongtarn adalah favorit di antara tiga nominasi terdaftar dari Partai Pheu Thai untuk perdana menteri. Partainya tampaknya akan memenangkan mayoritas kursi di Majelis Rendah parlemen. Pemilihan ini seperti ajang balas dendam antara Shinawatra dan musuh mereka.

Baca juga : Pengguna Kode QRIS Mandiri Meningkat

Pada 2014, Prayuth melakukan kudeta dengan menggulingkan pemerintahan yang berkuasa: Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, yang saat itu jadi PM. Dan Partai Pheu Thai menduduki posisi teratas dalam pemungutan suara 2019, namun gagal berkuasa setelah Partai Palang Pracharath yang didukung tentara menemukan mitra untuk membentuk pemerintahan koalisi.

Dalam Pemilu kali ini, pemain utama ketiga telah menyuntikkan aspek ideologis yang tajam ke dalam pemilu. Partai Move Forward, yang dipimpin Pita Limjaroenrat, telah menyemangati para pemilih yang lebih muda.

Dalam jajak pendapat terakhir, Partai Move Forward berada di posisi kedua setelah Pheu Thai. Namun, bagi warga Thailand yang konservatif, platform partai ini sangat radikal: menuntut reformasi militer dan monarki, sebuah langkah berani karena institusi kerajaan secara tradisional diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral.

Profesor di Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thitinan Pongsudhirak mengatakan, sementara agenda Move Forward akan dianggap “progresif” di negara lain. Tapi dalam konteks Thailand, hal itu adalah “revolusioner.”

“Pemilihan ini adalah yang paling penting dalam politik Thailand kontemporer, karena ini adalah pemilihan yang akan menentukan masa depan politik Thailand,” kata Pongsudhirak.

Partai Pheu Thai kemungkinan akan berbagi agenda reformis dan merangkul Move Forward.

Konstitusi Thailand 2017, yang diadopsi di bawah pemerintahan militer, menyerukan agar PM dipilih melalui pemungutan suara bersama dari 500 anggota DPR dan Senat 250 kursi yang tidak dipilih. Anggotanya ditunjuk oleh junta Prayuth.

Baca juga : Tiga Mahasiswa FTUI Sabet Penghargaan Internasional

Pada 2019, Senat memilih sebagai blok, dengan suara bulat mendukung Prayuth. Kali ini, partai yang memenangkan mayoritas kursi DPR mungkin masih membutuhkan setidaknya 376 kursi, atau 75 persen plus satu, suara di Majelis Rendah yang beranggotakan 500 orang jika calon PM ditentang di Senat.

Jika Partai Pheu Thai berada di posisi seperti itu, mereka dapat menemukan mitra koalisi di antara partai-partai yang memenangkan beberapa kursi DPR. Itu juga bisa mencalonkan PM. Kemungkinan besar yang dicalonkan Srettha Thavisin, bukan keluargaShinawatra yang tidak disukai kaum konservatif Senat.

Yang paling menarik, Partai Pheu Thai dapat bersekutu dengan mantan jenderal lainnya, Prawit Wongsuwan. Wongsuwan, Wakil PM Prayuth yang ambisius dan merupakan kandidat tahun ini untuk Partai Palang Pracharath. Kehadirannya dapat meyakinkan beberapa senator. Aliansi semacam itu akan tampak seperti penyimpangan dari platform Pheu Thai. Tapi bisa dijual kepada para pendukung dengan dasar bahwa Prawit tidak terlibat aktif dalam merencanakan kudeta tahun 2014.

Hingga pemungutan suara Minggu (14/5) dihitung, jalan Pheu Thai ke depan masih belum jelas. Profesor Laungaramsri menambahkan, banyak yang mengatakan, pemilihan ini mencerminkan harapan rakyat untuk perubahan dalam politik. Tapi, pada saat yang sama, semakin besar harapan untuk perubahan pada pemilihan ini, semakin gugup pula kaum konservatif yang saat ini memegang kekuasaan.

“Kita akan mulai melihat aksi dari pihak konservatif, mulai dari memprovokasi rasa nasionalisme ekstrem hingga menghalang-halangi beberapa pihak,” ujar Laungaramsri.***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.