Dark/Light Mode

Dipicu Climate Change, Kasus Turbulensi Pesawat Bisa Naik 4 Kali Lipat Pada 2050

Minggu, 26 Mei 2024 21:47 WIB
Ilustrasi pesawat mengalami turbulensi (Foto: Net)
Ilustrasi pesawat mengalami turbulensi (Foto: Net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Tak sampai sepekan, dua kasus turbulensi pesawat mewarnai dua penerbangan. Setelah Singapore Airlines rute London-Singapura pada Selasa (21/5/2024) yang mengakibatkan satu penumpang tewas dan 104 terluka, kini giliran 12 penumpang Qatar Airways rute Doha-Dublin menjadi korban luka ringan akibat turbulensi, Minggu (26/5/2024).

Kuat dugaan, turbulensi pesawat turut dipengaruhi oleh climate change (perubahan iklim) dan global warming (pemanasan global). Angka kasus ini bisa meningkat hingga 4 kali lipat pada tahun 2050.

Paul Williams, seorang profesor ilmu atmosfer di Universitas Reading, Inggris menguatkan pendapat yang menyebut perubahan iklim berpengaruh besar terhadap turbulensi.

“Kami menjalankan beberapa simulasi komputer dan menemukan suatu indikasi, bahwa kejadian turbulensi parah bisa bertambah dua atau tiga kali lipat dalam beberapa dekade mendatang,” kata Williams, seperti dikutip CNN International, Minggu (26/5/2024).

Temuan yang kemudian dikonfirmasi melalui observasi itu menyoroti jenis turbulensi yang masuk kategori “turbulensi udara jernih”.

Baca juga : Ini Penjelasan Qatar Airways Soal Turbulensi Pesawat Yang Bikin 12 Orang Terluka

Turbulensi jenis ini tidak terkait dengan petunjuk visual apa pun, seperti badai atau awan.

Berbeda dengan turbulensi biasa, turbulensi terjadi secara tiba-tiba dan sulit dihindari.

Penerbangan Singapore Airlines pada Selasa (21/5/2024) tidak dilanda turbulensi udara jernih, namun badai petir yang berkembang pesat. Belum diketahui turbulensi seperti apa yang dialami pesawat Qatar Airways.

Meningkat Dalam 40 Tahun Terakhir

Studi Reading University, Inggris yang diterbitkan dalam jurnal "Advancing Earth and Space Sciences" pada Juni 2023 menunjukkan, insiden turbulensi meningkat dalam 40 tahun terakhir akibat pemanasan global. 

Studi serupa pada tahun 2017 bahkan memperkirakan, turbulensi udara jernih dapat meningkat 4 kali lipat pada tahun 2050.

Baca juga : Turbulensi Pesawat Lagi, Kali Ini Qatar Airways, 12 Orang Luka-Luka

Penelitian itu menunjukkan, sebagian besar insiden turbulensi melibatkan Clear-Air Turbulence (CAT) yang tidak dapat diprediksi. Hal ini terjadi ketika arus udara yang berbeda, panas dan dingin, bertabrakan.

Dalam konteks ini, pemanasan global telah meningkatkan terjadinya angin panas, sehingga menyebabkan lebih banyak turbulensi.

Meningkat Di Jalur Padat

Mengutip News24, para peneliti menemukan fakta, insiden CAT meningkat di rute-rute sibuk, terutama di sepanjang Amerika Serikat dan Atlantik Utara.

Pada tahun 2020, kasus CAT dilaporkan meningkat sebesar 55 persen dibanding tahun 1979.

Rute Rawan Turbulensi

Maskapai penerbangan memetakan pola turbulensi untuk memastikan perjalanan lebih aman. Dari situ, bisa diperoleh rute alternatif untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

Baca juga : Pemerintah Patok Bisa Lebih Cepat Menjadi Anggota OECD

Beberapa rute penerbangan dilaporkan lebih bergejolak secara konsisten, dibanding rute lainnya.

Turbli, situs pelacak turbulensi mengungkap, Santiago di Chili dan Santa Cruz di Bolivia, serta rute antara Kazakhstan dan Kyrgyzstan masuk dalam daftar rute paling bergejolak. Selain itu, juga ada rute Milan ke Jenewa, Milan ke Zurich, dan rute domestik Jepang.

Sementara bandara yang tercatat paling rawan turbulensi adalah Santiago (Chili), Natori (Jepang), Wellington (Selandia Baru), Osaka (Jepang), Bishkek (Kyrgyzstan), Tokoname (Jepang), Tokyo (Jepang), dan Christchurch (Selandia Baru).

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.