Dark/Light Mode
Beragama Dalam Keberagaman (19)
Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Bahasa Agama

Tausiah Politik
RM.id Rakyat Merdeka - Mungkin Empu Tantular dalam kitab ‘Hutasoma’-nya menggores sebuah kalimat menarik: Bhinneka Tunggal Ika, tidak pernah membayangkan akan menjadi simbol pemersatu Negara yang amat dahsyat.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika, yang sering diartikan dengan bercerai berai tetapi tetap satu atau kesatuan di dalam keberagaman, digunakan para founding fathers kita di dalam memperkenalkan Indonesia di dalam dan di luar negeri.
Baca juga : Antara Bahasa Negara Dan Bahasa Agama
Dalam Islam, keberagaman itu sendiri adalah sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: Wa lau sya’a Rabbuka laja’alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. Al-Maidah/5:48).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata/huruf lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi.
Baca juga : Negara Dan Aliran Sesat
Masalahnya sekarang, kamus bahasa Indoneseia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan jika.
Ketegangan konseptual bahkan konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelompok minoritas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu membersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid’ah. Namun, kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima serangan pembid’ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya, kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas.
Baca juga : Psikologi Mayoritas-Minoritas
Sebaliknya, kelompok minoritas selalu mengusik kelompok mayoritas. Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang didominasi satu kelompok agama atau etnik mayoritas.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.