Dark/Light Mode

Usai Pemilihan Presiden 2019 Cicak VS Buaya Ramai Lagi

ACHMAD BAIDOWI : Kalah Ya Kalah Saja, Tak Usah Diistilahkan

Rabu, 3 Juli 2019 10:59 WIB
Usai Pemilihan Presiden 2019 Cicak VS Buaya Ramai Lagi ACHMAD BAIDOWI : Kalah Ya Kalah Saja, Tak Usah Diistilahkan

RM.id  Rakyat Merdeka - etua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengungkit istilah cicak VS buaya saat menyampaikan keinginannya untuk menjadi oposisi bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. 

Mardani menyatakan, oposisi yang terbaik adalah bergabung bersama rakyat. Menurutnya, siapapun yang membela kepentingan rakyat sekecil apapun, maka akan menjadi besar. Dia mencontohkan, “cicak” berhasil mematahkan perkiraan tidak mungkin menang menghadapi “buaya” ketika itu karena didukung rakyat. 

Istilah cicak VS buaya, seperti diketahui, personifikasi yang diciptakan Kepala Bareskrim Susno Duadji pada 2009. Pengibaratan itu menggambarkan pertarungan antara KPK dengan Polri. KPK diibaratkan sebagai cicak, sedangkan Polri diibaratkan sebagai buaya kala itu. 

Mardani pun menyampaikan, ketika oposisi kuat, maka akan memberikan keuntungan untuk rakyat, karena mekanisme penyeimbang atau check and balances akan berjalan. Sebaliknya, lanjut dia, oposisi akan menjadi lemah dan merugikan rakyat bila jumlah partai politik yang tergabung di dalamnya hanya sedikit. 

Berangkat dari itu, Mardani mengajak semua partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk mengambil posisi oposisi. Dia berkata, menjadi oposisi bukan berarti benci dengan pemerintah atau Jokowi, melainkan bisa menjadi pendorong pemerintah jika bekerja lambat. 

Baca juga : Mardani Ali Sera : Oposisi Pilihan Rasional Bagi Yang Kalah Pilpres

Apa sebetulnya maksud Mardani? Apakah ini manuver untuk membujuk PAN dan Demokrat supaya tidak bergabung dengan koalisi pemerintah? Bagaimana pula respon kubu 01 terhadap pernyataan Mardani ini? Berikut tanya jawabnya.

oposisi dengan koalisi pemerintah itu sebagai cicak VS buaya... 
Itu ngawur dan tidak mencerminkan semangat rekonsiliasi. Kalau sudah kalah pemilu, ya sudah, kalah saja. Lalu, ambil posisi di luar pemerintahan. Ngapain juga dibanding-bandingkan seperti itu. Kalau memang dibandingkan cuma dari segi ukurannya, silakan. Tapi, jangan seolah-olah dia itu cicaknya, di sini buayanya. Lalu, karena cicak didukung publik, buayanya kalah. 

Bagaimana jika kenyataannya nanti begitu? 
Tidak juga. Sebaiknya, hindari diksi-diksi politik yang membuat terpolarisasi. Kalau sudah kalah, ya kalah, tidak usah diistilahkan. Kalau mau masuk koalisi, ya silakan gabung ke koalisi. Mau tetap di oposisi, ya silakan juga. Tidak usah ada istilah semacam itu. 

Kenapa memangnya? 
Karena, munculnya istilah-istilah seperti itu, semakin membuat sekat-sekat yang akan semakin menyulitkan terjadinya rekonsiliasi. 

Bukankah rekonsiliasi tak harus jadi koalisi? 
Walaupun sudah sepakat, bahwa rekonsiliasi tidak harus jadi koalisi, tetapi dengan mengistilahkan seperti itu, kawan ini kan sepertinya mau bermain panjang. Jika sebelumnya cebong VS kampret, sekarang jadi cicak VS buaya. Publik akan menafsirkan seperti itu. Akhirnya tidak bagus. 

Baca juga : Kick Off Final Piala Presiden Dimajukan

Saran Anda? 
Kalau PKS, Gerindra sama teman-teman mau di luar pemerintahan, ya sudah bilang saja. Tidak perlu ada diksi-diksi baru, yang mendikotomikan dan memperpanjang perbedaan. 

Kalau seperti itu akan membuat masyarakat terpolarisasi? 
Iya, diksi-diksi seperti itu hanya memanaskan situasi saja, dan itu tak ada untungnya bagi demokrasi kita, bagi perpolitikan kita ke depan. Kalau didukung rakyat, menang pemilu harusnya. Ini dia mau menganalogikan seperti KPK. Tapi tidak bisa, karena dia bukan KPK. Bukan orang yang bersih juga, banyak yang tersangkut kasus. 

Contohnya? 
Saya tidak mau masuk ke soal kasusnya. Saya hanya mengatakan, tidak elok ada pembedaan-pembedaan. Berada di dalam pemerintahan atau berada di luar, silakan saja. Tapi, tidak perlu dikotomi dengan diksi-diksi politik yang memancing pertentangan seperti itu. 

Mestinya bagaimana? 
Dimana pun posisinya, seharusnya bikin adem suasana. Membangun bangsa tidak harus gontok-gontokan. Meski ada perbedaan pendapat, bisa berdiskusi sampai ada kesepakatan, lalu selesai. Ngapain juga teriak-teriak terus tapi tak menemukan solusi. Hanya bikin capek kalau seperti itu, habiskan energi saja. 

Mungkin pernyataan itu dibuat hanya untuk membujuk agar PAN dan Demokrat tak bergabung ke koalisi pemerintah? 
Apapun alasannya, tapi yang begitu, tidak tepat. Kami kan sudah menghilangkan cebong VS kampret, menghilangkan 01 dan 02, kok ini muncul lagi cicak VS buaya. Berarti tak ada niatan untuk rekonsiliasi kalau begitu. Hanya ingin memperpanjang pertentangan, perbedaan juga terus diperuncing. 

Baca juga : Juara Grup C, Kalteng Putra Merasa Istimewa

Semestinya bagaimana? 
Sebagai elit politik, mari kita mengajarkan kesejukan dan keteduhan, berikan contoh yang baik. Jangan malah keluarkan pernyataan yang memperkeruh suasana saja. 

Bagaimana perkembangan upaya rekonsiliasi? 
Upaya tersebut terus kami dorong. Contohnya, Pak Jokowi sudah mengutus orang untuk menemui Pak Prabowo. Dengan mengutuskan orang menemui Prabowo, tapi apa yang terjadi, belum bergerak. Kami awalnya berpikir, pertemuan Jokowi dengan Prabowo sebagai bentuk rekonsiliasi, bakal terjadi tidak lama setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu tetap tidak terjadi. 

Kenapa bisa begitu? 
Karena ada ganjalan-ganjalan untuk melakukan rekonsiliasi. Meskipun, akhirnya Pak Sandi mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Pak Jokowi, siap bekerja sama dan sebagainya. [NDA]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.