Dark/Light Mode

Blusukan Ke Wilayah Pedalaman

Sawit Tingkatkan Taraf Hidup Masyarakat

Rabu, 22 Mei 2019 08:19 WIB
Truk PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) menuju perkebunan untuk memanen sawit di Kabupaten Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), kemarin. UWTL salah satu perusahaan sawit yang ikut berkontribusi membangun Sulbar.
Truk PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) menuju perkebunan untuk memanen sawit di Kabupaten Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), kemarin. UWTL salah satu perusahaan sawit yang ikut berkontribusi membangun Sulbar.

RM.id  Rakyat Merdeka - Perkebunan sawit terbukti memberi dampak positif di banyak daerah di Indonesia, salah satunya di Sulawesi Tengah.

Rakyat Merdeka belum lama ini mengikuti kegiatan kunjungan ke perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) milik PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) di Kabupaten Baras, Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar).

Perjalanan dari Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie menuju lokasi perkebunan, memakan waktu tempuh kurang lebih 5 jam. Melewati area pantai terdampak gempa Palu lalu melewati hutan. Kanan kiri terlihat pepohonan besar. Beberapa kali perjalanan menyebrangi jembatan yang terdapat sungai besar.

Masuk area perkebunan sawit, suasana tetap terlihat dihimpit hutan kanan dan kiri, bedanya pohonnya seragam yakni pohon sawit. Setibanya di pabrik PT UWTL, perusahaan di kelilingi padatnya pepohonan sawit.

Saking padatnya pohon sawit, nyaris menghalau cahaya matahari. Banyak penduduk transmigran diwilayah areal pabrik, pada umumnya, mereka telah menjadi petani sukses.

Kuasa Direksi PT Unggul Widya Teknologi Lestari, Muchtar Tanong menceritakan, tadinya wilayah area pabrik adalah hutan belantara dengan penghuni sangat sedikit. Mereka adalah suku asli yang bernama Bunggu dan Kaili, tidak mengenal transaksi tunai menggunakan uang karena mereka terbiasa melakukan barter untuk tukar-menukar barang.

Selain penduduk asli, ada juga pendatang atau transmigran yang mengikuti gaya hidup seperti suku asli. “Secara demografi penduduk asli awalnya itu terkonsentrasi di pantai, makanan pokoknya mereka sagu dengan pola kehidupan tradisional,” tutur Muchtar di kantornya.

Baca juga : Kurangi Impor, Pengusaha Harus Bisa Tingkatkan Produksi

Dia pun menceritakan, pembangunan pabrik UWTL pada awal Tahun 1980an, perlahan tapi pasti merubah kondisi penduduk menjadi lebih manusiawi.

Usai bercerita, Muchtar bersama rombongan yang terdiri dari karyawan dan awak media pergi menuju mess sederhana tapi menjadi bangunan terbaik karena memiliki fasilitas AC dan TV kabel.

Di mess inilah rombongan menginap. Namun sayang di wilayah ini operator apapun susah mendapatkan sinyal. Keesokan harinya pukul 07.00 WITA menggunakan mobil perkebunan, awak media bersama karyawan mengunjungi pabrik pengolahan kelapa sawit hingga berpetualang menyusuri kebun milik perusahaan.

Adapun eksistensi kebun sawit inti ada 6.380 hektar dan kebun plasma 6.140 hektar. Di tengah padatnya perkebunan sawit yang hijau dengan standar ISPO, perusahaan membangun banyak rumah dinas di tengah perkebunan sawit untuk para pegawai.

“Ada 17 ribu hektar kawasan hutan tua kita sudah bebaskan menjadi plasma dan inti,” terangnya.

Fasilitas pokok yang turut dibangun di dalam kebun adalah sarana kesehatan berupa puskesmas, mushola, dan sekolah. Perusahaan tercatat memiliki karyawan sebanyak 2.300 orang dan ada juga transmigran yang berjumlah 15.350 orang.

Fasilitas pendukung yang tak luput disiapkan perusahaan adalah Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA/TPQ) sebagai tempat bagi masyarakat yang ingin mengkaji pendidikan nonformal bagi yang beragama Islam. "Kami sediakan tempat untuk anak-anak mengaji,” ucapnya.

Baca juga : Lantik Pejabat Baru, Menpora Ajak Tingkatkan Kebersamaan

Fasilitas tambahan lainnya adalah penangkaran burung hantu untuk memangsa tikus yang menjadi hama bagi rumah penduduk dan perkebunan. Di area perumahan yang dibangun oleh perusahaan penduduk dibangun area mess atau rumah sesuai dengan suku. Keberadaan masyarakat yang majemuk ini diklaim sebagai miniatur Indonesia.

“Jadi disini bisa disebut sebagai miniatur Indonesia karena ada berbagai jenis masyarakat ada yang dari Jakarta udah ada 9 persen, Etnik Bali paling banyak yaitu 31,35 persen. Kedua NTT 478 terkecil, Jakarta ada 25 kepala keluarga,” kata dia.

Di tengah hutan yang kini menjadi perkebunan sawit bangunan pabrik milik UWTL nampak mencolok. Pabrik kelapa sawit di Baras ini memiliki kapasitas produksi 60 ton TBS per jam. Meski demikian, pabrik tersebut tidak berdampak negatif ke lingkungan sekitar. Justru limbah diolah menjadi pupuk.

“Kami sudah antisipasi. Kami proses sisa yang tidak bisa digunakan kita manfaatkan untuk yang lain misalnya untuk pupuk,” terangnya.

Efek positif dari adanya pabrik dan perkebunan di tengah hutan adalah munculnya pembangunan infrastruktur. Dana pembangunan dikeluarkan langsung dari kocek perusahaan. Berkilo-kilo meter jalan yang tadinya tanah berbatu-batu telah diaspal perusahaan untuk memudahkan penduduk beraktivitas keseharian.

“Dulu tidak seperti ini, sekarang infrastruktur sedikit kita bangun. Kalau zaman dulu jalan setapak berstruktur ini sangat parah,” katanya.

Perkembangan sumber daya manusia di sekitar perusahaan juga makin maju karena sejak kecil sudah mengenyam pendidikan formal dan agama yang disediakan di dalam perkebunan. Ditambah lagi mereka juga diajarkan menanam sawit sesuai standar yang ditetapkan perusahaan.

Baca juga : Gatot Ingatkan Kiper Persib Waspadai Borneo FC

Kemampuan perusahaan memfasilitasi warga bersumber dari hasil penjualan sawit dari hasil kebun yang telah diolah menjadi minyak sawit. Secara umum sawit memang memberi kontribusi besar untuk negara.

“Pabrik pengolahan kelapa sawit memiliki kontribusi terhadap kas negara, RAPBN dalam bentuk PPN, PPH, PBB, dan Non Tax. Lalu ada juga retribusi lainnya,” bebernya .

Rombongan juga berkesempatan mengunjungi kediaman salah satu petani peserta transmigrasi yang sudah berhasil. Dia adalah Imade Gunarta. Imade merupakan transmigran asal Bali yang kini tinggal di Satuan Pemukiman (SP) II.

“Saya awalnya menjadi buruh tapi saya berusaha sekarang saya punya banyak perkebunan sawit,” akunya.

Penghasilannya juga sudah diinvestasikan untuk membangun penginapan di Bali, dan membuka ratusan kebun sawit di berbagai daerah termasuk di Kalimantan. Tidak hanya itu, lima orang anaknya, saat ini sudah menjadi dokter, sudah lulus S2, dan sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah, SMA dan SMP.

Imade mengungkapkan, kesuksesannya itu berkat kerja keras yang dijalani sejak awal menjadi transmigran. Dulu dia juga menjadi buruh, membantu perusahaan menanam dan merawat sawit. Tapi kemudian dia dipercaya menjadi mandor perusahaan, mengkoordinir buruh-buruh yang lain. (Fajar El Pradianto/RM)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.