Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

PB PMII: Usulan Perpanjangan Jabatan Presiden Permainan Oknum Populis

Kamis, 24 Februari 2022 17:38 WIB
Kantor Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). (Foto: Istimewa)
Kantor Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Isu perpanjangan masa jabatan presiden mencuat seiring polemik ketidakpastian berakhirnya wabah virus Pandemi Covid-19. Sebagian merespon positif dengan menganggap wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7 tahun atau 8 tahun tidak menjadi masalah selama melalui prosedur demokratis.

Namun, sebagian yang lain berprasangka bahwa isu tersebut berpotensi mengarah ke degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah hal yang baru. Wacana itu pernah mengemuka saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2010. Namun, hal itu kandas tak berlanjut.

Di sisi lain, kontroversi wacana tersebut tidak dapat semata dipandang hal yang pragmatis semata. Melainkan lebih jauh, yakni implikasi terhadap konstruksi kelembagaan maupun fatsun demokrasi.

Direktur Lembaga Pemilu dan Demokrasi Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yayan Hidayat mengungkapkan, secara empiris, sebagian besar negara memberlakukan masa jabatan presiden maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits). Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam sekali periode.  

Baca juga : Dubes RI Untuk Italia Serahkan Surat Kepercayaan Ke Presiden Sergio Mattarella

"Itu adalah hal yang aneh dan sudah pasti memicu terjadinya degradasi demokrasi. Persoalan kekhawatiran bahwa proses pembangunan ekonomi dapat mengalami keterputusan apabila presiden berganti, agaknya berlebihan," ungkap Yayan dalam keterangannya kepada RM.id, Kamis (24/2).

Problem tersebut, kata Yayan, sebenarnya dapat diupayakan dengan intensitas komunikasi di antara para elite, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebaliknya, tidak ada jaminan ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan ekonomi akan semakin baik.

Menurut Yayan, dalih pemulihan ekonomi akibat terpaan badai Pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk perpanjangan masa jabatan Presiden tak dapat dibenarkan.

Pasalnya, Pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya. Tetapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi presiden.

Ditegaskannya, pihak-pihak tertentu yang mendalilkan isu pemulihan ekonomi dan Covid-19 sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden,  hanya berusaha mencari-cari alasan saja dan memanfaatkan masalah yang ada demi melanggengkan kepentingan politik mereka.

Baca juga : i-OTDA: Perpanjangan Jabatan Kepala Daerah Konstitusional

"Ada banyak negara demokratis yang hari ini dilanda pandemi Covid-19 beserta segala dampak sosial dan ekonominya juga tak sampai menambah masa jabatan Presidennya. Ini hanya permainan oknum populis yang mau mencari manfaat di tengah penderitaan masyarakat akibat Covid 19 saja," tambah Yayan.

Secara normatif, praktik pembatasan masa jabatan presiden memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi. Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme.

Disertasi Profesor Bill Gelfed di Universitas San Francisco de Quito, Ecuador menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan perpanjangan masa jabatan presiden justru berdampak negatif.

"Jangan sampai akibat hasrat pihak tertentu untuk perpanjangan masa jabatan presiden, justru menciderai demokrasi di Indonesia," tutup Yayan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengusulkan penundaan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024 selama satu hingga dua tahun, agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan tidak terjadi pembekuan ekonomi.

Baca juga : Perlu Kerja Sama Untuk Pemulihan Ekonomi Global

Muhaimin menilai, pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir mengakibatkan stagnasi, bahkan penurunan perekonomian nasional. Namun, dalam beberapa waktu terakhir mulai tampak tren perbaikan ekonomi cukup positif.

"Saya menerima para pelaku UMKM, pebisnis, dan analis ekonomi dari berbagai perbankan, banyak masukan penting. Intinya, prospek ekonomi kita pascapandemi. Dari seluruh masukan itu saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu tahun atau dua tahun," kata Cak Imin, sapaan akrabnya usai menerima aspirasi para pelaku UMKM, pelaku bisnis, dan analis ekonomi, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/2). [FAQ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.