Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Catatan Muhammad Rizaldi Mina

Menakar Pasal Kontroversial KUHP Dalam Perspektif Sosio Legal

Senin, 12 Desember 2022 22:12 WIB
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Hima Persis Muhammad Rizaldi Mina (Foto: Istimewa)
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Hima Persis Muhammad Rizaldi Mina (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Selasa, 6 Desember 2022, media sosial kembali gaduh dengan konten berisi pembahasan seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini disebabkan RKUHP resmi disahkan DPR pada Rapat Paripurnanya. Kalangan akademisi dan aktivis menyesalkan pengesahan RKUHP ini menjadi KUHP, karena dianggap masih memiliki banyak pasal kontroversial.

Sebenarnya, banyak elemen pernah melakukan penolakan pada 2019 ketika draf RKUHP dihadirkan kepada publik. Pada saat itu, kabar baik didapatkan publik usai Presiden menyatakan akan menunda pembahasan RKUHP. Dengan pernyataan tersebut, sebenarnya publik menginginkan adanya revisi yang menghapus beberapa pasal kontroversial. Namun, pemerintah tetap mempertahankan pasal kontroversial tersebut hingga akhirnya resmi disahkan.

Hukum Adat dan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Pasal 2 KUHP)
Penulis sebenarnya berposisi untuk menolak seluruhnya pasal tentang living law atau hukum yang hidup di masyarakat ini. Ada beberapa argumentasi yang membuat penulis hadir di posisi ini. Dalam perspektif antropologi, hukum pasal ini terlalu memaksakan dengan menghadirkan etnografi konvensional, dalam konteks ini pidana adat dan perspektif multi-sited ethnography yang menitikberatkan kepada pembauran konsep hak asasi manusia dan asas hukum umum yang diakui masyarakat yang beradab.

Yang luput dari perspektif ini adalah terkait dengan silang sengkarutnya interaksi hukum yang hadir dengan tiga instrument yakni aktor yang bergerak untuk memperkenalkan sentuhan hukum dari transnasional, nasional, dan lokal. Aktor ini akhirnya melakukan negosiasi dalam arena multi-sited dan didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan. Relasi ini kemudian menstrukturkan interaksi dan bagaimana interaksi itu diproduksi dan diubah oleh aktor tersebut.

Oleh sebab itu, menurut Benda Beckmann dalam bukunya yang berjudul “Mobile People, Mobile Law: Expanding Legal Relations in a Contracting World”, etnografi konvensional yang didasarkan pada studi makro lokal yang hanya berpusat pada kehidupan suatu desa, dibatasi oleh batas dan teritorial dianggap tidak relevan lagi karena tidak menjawab tantangan globalisasi hukum. Dengan demikian, pengetahuan masyarakat sudah tidak dapat lagi dibatasi dengan relasi yang bersifat face to face, tetapi juga harus dapat dilihat bagaimana masyarakat berhubungan dengan teknologi komunikasi, pola konsumsi global, konfigurasi geopolitik yang terus berubah. Hal yang diperbincangkan adalah dimensi spasial temporal dari globalisasi hukum dan penelusuran terhadap muncul, mengalir dan pengaruh dari hukum transnasional terhadap arena sosial yang kecil.

Baca juga : Orang Muda Ganjar Yogyakarta Selenggarakan Kontes Salak Pondoh Dan Senam Massal

Pendapat Beckmann ini dapat kita setujui dengan fakta bahwa terjadinya perkembangan teknologi yang massif bahkan di wilayah pedesaan sekalipun, inilah yang disebut dengan globalisasi hukum. Silang sengkarut antara entitas lokal, nasional, dan transnasional saling berkelindan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan pluralisme hukum bukan berarti diam dan ajeg berada dalam satu komunitas lokal saja, melainkan bergerak. Dan aktor yang menggerakkannya, menurut Beckmann, dapat diambil contoh seperti para buruh migran yang membawa hukumnya sendiri ke negara tujuan, orang-orang yang sering berada di berbagai negara (pedagang, ekspatriat), pegawai negeri (yang bertugas mewakili negara/para diplomat), NGO Internasional, multinational corporation dan mereka yang dapat berhubungan dengan dunia luar karena fasilitas alat komunikasi (internet).

Oleh sebab itu, maka masuknya hukum yang hidup dalam masyarakat dalam konteks ini sulit sekali diambil titik legal reasoning dalam ilmu hukum pidana. Sebab, jika sejak awal konsisten pada asas legalitas yang menjunjung tinggi asas lex scripta, maka hukum yang hidup di masyarakat merupakan hal yang tidak dapat ditetapkan secara fixed dan sudah dipastikan tidak memenuhi asas lex scripta. Hal ini dikarenakan adanya globalisasi hukum, dengan prosesi interaksi dari mulai teknologi, urbanisasi masyarakat dan pertukaran wacana terus bergerak dan menggeser living law yang ada atau singkatnya etnografi konvensional dalam melihat interaksi hukum yang berkembang cepat sudah sangat tidak relevan lagi.

Selain itu, siapa yang berhak menentukan seseorang itu kriminal karena melanggar hukum yang hidup dalam masyarakat, yakni dijelaskan akan diatur dalam peraturan pemerintah. Jelas ini rentan kriminalisasi tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas. dugaan ini diakibatkan timbulnya pertanyaan dari penulis yaitu jika pemerintah menetapkan apa saja hukum yang berkembang di masyarakat yang apabila dilanggar maka akan terkena delik pidana, indikator ukuran pemerintah menetapkan itu apa saja ditengah bergeraknya masyarakat dan proses globalisasi hukum melalui interaksi para aktornya.

Sebenarnya, sebagai solusi nasionalisasi hukum lokal, dalam KUHP baru ini seharusnya melakukan seleksi hukum masyarakat yang dirasa umum untuk seluruh masyarakat Indonesia dan layak untuk masuk sebagai hukum pidana, maka masukan ke dalam draf RKUHP-nya dan bukan dengan menggunakan peraturan pemerintah. Sebagai contoh dalam perumusan ide-ide mengenai “keadilan” dari berbagai penjuru dunia atau lokal dapat menjadi bagian dari instrumen hukum internasional yang dirumuskan. Sally Marry dalam tulisannya berjudul “Law Pluralism” menceritakan tentang etnografi persidangan lembaga dunia yang memperlihatkan ide keadilan dari perspektif perempuan local dinegosiasikan untuk bisa masuk ke dalam pembahasan perumusan instrumen hukum internasional.

Penghinaan Terhadap Penguasa
Charles Samford dalam bukunya “The Disorder of Law; A Critical Legal Theory”, menyebutkan bahwa hukum bukanlah lahir dari realitas yang tertutup, melainkan dalam realitas yang kuasa yang silang sengkarut penuh dengan chaos dalam masyarakat dan ketidakstabilan dalam teksnya. Oleh sebab itu, tujuan hukum tidak lagi hanya untuk kepastian teks atau kepastian hukum, namun justru menempatkan keadilan sebagai prioritas utama tujuan hukum. Keadilan pada dasarnya mengandung makna yang sangat pluralistis, dinamis dan penuh dengan ketidakstabilan.

Baca juga : Basarah Promosi Pancasila Dan Indonesia Ke Dunia Internasional

Dalam ketidakstabilan dan sesaknya relasi kuasa ini, ada pihak yang mendominasi untuk merebut tafsirnya. Sebab, sebagaimana yang dibahas Michel Foucault dalam bukunya “The Order Thing: An Archaeology of the Human Sciences” bahwa peran Bahasa yang terasa netral dan wajar akhirnya berubah menjadi pisau belati yang sangat tajam siap menyayat siapa saja. Kita pada akhirnya berada para Bahasa yang deterministic, terorganisasi, tersistematisasi, terkalkulasi, termodulasi dalam sebuah silabus yang mengarahkan dan mendominasi.

Dalam perspektif Foucault ini, yang disebut dengan Aequalitas sebuah ajaran tentang keadilan, kesetaraan dan hukum. Bagi Foucault, Aequalitas bisa saja muncul dengan pelbagai mekanisme. Bisa dengan perjanjian individu atau kelompok yang mencapai kehendak bersama. Namun, yang perlu dipahami bahwa Aequalitas menghasilkan tumpang tindih dan saling menjatuhkan, para pemikirnya mencoba untuk mendominasi Bahasa tersebut. Pada titik inilah teks terkooptasi tafsir yang tertutup. Teks-teks tersebut sudah terkapling sedemikian rupa. Perlawanan terhadap teks itu dapat mengakibatkan terjadinya kekacauan.

Dalam konteks kajian sosio legal KUHP penghinaan terhadap penguasa, dalam hal ini presiden, wakil presiden, dan lembaga negara yang sah, hal yang menjadi persoalan adalah tafsir hukum dalam realitas yang serba tidak teratur diiringi dengan relasi kuasa yang timpang antara rakyat dan penguasa akhirnya dimiliki total oleh penguasa. Penguasa sebagaimana dalam diskursus Aequalitas Michel Foucault akan berusaha merebut tafsir yang sesuai dengan dirinya, pada akhirnya definisi penghinaan yang jelas individualistik tersebut menjadi benar-benar subjektif perspektif penguasa meskipun dalam praktiknya adalah kritik. Kita bisa berdebat tentang batasan perbedaan antara hinaan dan kritik, namun fakta bahwa oposisi itu ada dan rentan untuk dikriminalisasi dengan pasal penghinaan terhadap penguasa itu nyata.

Larangan Marxisme
Larangan Marxisme/Leninisme dan ideologi lainnya dulu hanya diatur dalam Undang-Undang (UU) Pertahanan Negara dan sekarang masuk dalam KUHP. Dan lagi, pasal tentang larangan komunisme ini bisa membuat masyarakat Indonesia semakin terpuruk dalam kubangan kejumudan. Ini dapat dilihat dari dampak yang nantinya menghasilkan eksklusi bagi orang-orang yang mengkaji pemikiran Marxisme. Pemerintah luput menyadari bahwa pemikiran Marxisme sebagai instrumen pengaruh dan bukan ideologi tunggal hari ini sedang banyak dipelajari tetapi bukan sebagai gerakan sosial yang berkonotasi kepada makar.

Para penulis yang ingin melakukan komparasi pemikiran dan corak ideologi akhirnya kebingungan untuk mengembangkan skill dan pengetahuannya jika harus dihadapkan dengan pidana. Tentu ada narasi jika kajian Marxisme hanya bisa dilaksanakan di lingkungan pendidikan. Lantas, apakah ini merupakan alasan pemaaf atau alasan pembenar dalam hukum pidana? Jika membaca pasal 31-35 dan 40-44 KUHP, maka indikator di atas bukanlah merupakan alasan pembenar ataupun alasan pemaaf ataukah lex specialis dari KUHP larangan Marxisme? Jika melihat konteks penalaran hukum, maka lex specialis itu bersifat pengkhususan yang harus tidak ada alasan dari aturan di atasnya. KUHP memiliki alasan pemaaf dan alasan pembenar, mengapa tidak memasukan kampus sebagai kekhususan belajar Marxisme itu di draf RKUHP saja? Oleh sebab itu. pasal ini bersifat multi interpretasi juga dan sulit untuk ditarik indikatornya. Mengapa tidak membatasi Marxisme sebagai gerakan kelas pekerja saja dan tidak mengeneralisir seluruh yang berkaitan dengan Marxisme?

Baca juga : Kejahatan Phising Merajalela, Jaga Kerahasiaan Data Pribadi

Conclusion
Dalam konteks bernegara perspektif Islam, maka kita diperintahkan untuk taat kepada ulil amri. Namun, sebenarnya taat kepada ulil amri tidak bisa kita maknai serampangan dalam kaca mata khilafatisme atau stagnan pada masa Khulafaur Rasyidin saja. Tapi, maksud ulil amri di sini merupakan sistem yang telah disepakati dan disahkan langsung oleh ulil amri. Dalam konteks Indonesia, ulil amri ini eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah menetapkan demokrasi sebagai prinsip bernegara, republik sebagai bentuk negara dan negara hukum sebagai sistem hukumnya. Dalam semua mekanisme ini, mensyaratkan dimensi pemberontakan alias beroposisi, maka menjadi oposisi juga berarti taat kepada ulil amri.■

Muhammad Rizaldi Mina, Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Hima Persis

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.