Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Penelitian HCC: Pemaknaan Stunting Masih Salah Kaprah

Selasa, 13 Desember 2022 21:22 WIB
Dari kiri: Research Associate HCC Bunga Pelangi, mantan Menteri Kesehatan Prof Nila Moeloek, dan Chairman HCC Ray Wagiu Basrowi, dalam Media Breafing hasil Penelitian HCC, di Jakarta, Selasa (13/12). (Foto: HCC)
Dari kiri: Research Associate HCC Bunga Pelangi, mantan Menteri Kesehatan Prof Nila Moeloek, dan Chairman HCC Ray Wagiu Basrowi, dalam Media Breafing hasil Penelitian HCC, di Jakarta, Selasa (13/12). (Foto: HCC)

RM.id  Rakyat Merdeka - Meskipun Pemerintah gencar memprioritaskan penanganan stunting, namun pemahaman masyarakat terhadap isu ini belum memadai. Penelitian Health Collaborative Center (HCC) mengidentifikasi, terdapat 4 pemaknaan stunting yang tidak tepat, kontradiksi daya beli pada pangan bergizi serta perilaku makan.

Pertama, responden mempersepsikan bahwa anak tidak rentan terkena stunting pada kehamilan yang kurang gizi. Kedua, responden tidak mempercayai bahwa bayi dengan berat lahir rendah rentan terkena stunting. Ketiga, responden tidak percaya stunting menghambat perkembangan otak atau kognitif anak. Keempat, stunting dianggap tidak berhubungan dengan pola asuh orang tua.

Masyarakat mempercayai bahwa stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga (1.032 dari 1.599 atau 65 persen) . Namun, masyarakat tidak mempercayai bahwa stunting dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak (1.014 dari 1.646 atau 62 persen). Masyarakat lebih mempercayai bahwa stunting disebabkan karena asupan makanan dan minuman yang diberikan kepada anak (900 dari 1.650 atau 54,5 persen).

Baca juga : Benarkah Ada Perkosaan Di Kasus Sambo, Y Pelakunya?

Di lain sisi, masyarakat juga berpendapat bahwa anak rentan terkena stunting karena keluarga tidak mampu membelikan pangan yang bergizi (858 dari 1.648 atau 52 persen). Kondisi tersebut sejalan dengan perilaku pengaturan makan di keluarga yang lebih memilih memasak daripada membeli makanan untuk keluarga (1.589 dari 1.663 atau 95 persen). 

Persepsi masyarakat tersebut juga dibuktikan dengan pemahaman masyarakat bahwasanya penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan, dan pengetahuan terkait stunting. Sejalan dengan pemahaman responden tentang perilaku yang dianggap dapat mencegah stunting yakni mengatur pola makan yang seimbang untuk anak dan mencari tahu tentang stunting.

Menurut Menteri Kesehatan 2014-2019 Prof Nila Moeloek menyampaikan, pengetahuan dan perspektif atau pemaknaan masyarakat adalah kunci keberhasilan intervensi stunting. “Itu sebabnya, peningkatan kapasitas pengetahuan kesehatan, terutama terkait stunting, perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan semua pihak, agar target 14 persen penurunan stunting dapat tercapai,” ucapnya, dalam Media Breafing hasil Penelitian HCC, di Jakarta, Selasa (13/12).

Baca juga : Jelang Akhir Pekan, Rupiah Tetap Perkasa

Secara khusus, kelompok masyarakat perempuan yang berpartisipasi pada penelitian ini menilai bahwa pengasuhan kesehatan anak seharusnya adalah tugas kedua orang tua, ibu dan bapak yang perlu dilibatkan pada program-program kesehatan di posyandu maupun puskesmas. Sebagaimana disebutkan bahwa masyarakat paling banyak mengetahui tentang stunting dari bidan.

Oleh karena itu, HCC mengusulkan enam hal. Pertama, program edukasi stunting yang melibatkan kedua orang tua. Kedua, memperkuat konten edukasi stunting terkait bahaya serta cara mencegah stunting secara lebih spesifik dengan pembagian peran antara ibu dan bapak. Ketiga, kampanye gizi seimbang, stunting, dan pola asuh orang tua sebagai satu kampanye terintegrasi. Keempat, menjadikan bidan sebagai agent of change dalam edukasi gizi dan pola makan yang seimbang dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Kelima, memastikan adanya program terintegrasi untuk penyediaan pangan yang bergizi dan terakses bagi seluruh kalangan masyarakat. Keenam, memastikan adanya layanan posyandu, puskesmas yang dapat terakses oleh keluarga.

Menurut peneliti utama dan Chairman HCC Ray Wagiu Basrowi dan Research Associate HCC Bunga Pelangi, enam indikator pemaknaan negatif tentang stunting temuan penelitian ini yaitu: responden tidak setuju stunting disebabkan faktor kurang gizi, stunting tidak berhubungan dengan ketidakmampuan membeli pangan sumber gizi, stunting bukan kondisi medis serius, dan stunting tidak memengaruhi kondisi keluarga. 

Baca juga : KPK Resmi Tahan Hakim Agung Gazalba Saleh

“Penelitian dengan menggunakan Health Belief Model kami menunjukkan bahwa temuan indikator pemaknaan terhadap stunting yang kontradiktif memiliki nilai persentase yang signifikan. Artinya, kesalahpahaman masyarakat terhadap apa dan bagaimana dampak stunting secara tegas dan sangat nyata bertentangan dengan pengetahuan kesehatan yang sebenarnya menjadi dasar untuk penanganan stunting dan bahkan sudah dikomunikasikan lewat beragam program edukasi dan kampanye kesehatan yang masif baik oleh pemerintah maupun berbagai pihak,” ungkap Ray, yang juga merupakan staf pengajar di Kedokteran Komunitas FKUI.

Bahkan, ketika dilakukan analisis lanjutan, Ray melihat konsistensi antara pemaknaan stunting terhadap persepsi, keenam indikator yang salah kaprah ini juga konsisten dengan perceptive barrier dari responden. Terlihat dari hasil 22 persen responden tidak setuju bahwa stunting adalah ancaman kesehatan, 10 persen responden tidak setuju dampak stunting akan berat untuk anak dan negara, bahkan dikaitkan dengan masa pandemi lebih dari 40 persen responden meyakini bahwa selama pandemi, ancaman Covid-19 jauh lebih serius dibanding stunting. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor terkait seberapa efektif masyarakat menerima informasi dan edukasi tentang stunting diduga masih belum optimal.

Dari aspek metode, research associate HCC Bunga Pelangi menjelaskan, kesan kontradiksi pemaknaan stunting dari penelitian HCC ini diduga berkaitan dengan adanya perbedaan seriousness perspective dari responden sebagai perwakilan masyarakat terkait pengetahuan dasar tentang stunting, definisi, penyebab, penanganan hingga sumber informasi tentang stunting. “Metode HBM yang kami pakai meskipun secara parsial dapat mendeteksi potensi kesenjangan sumber dan ketepatan informasi termasuk pihak-pihak sumber informasi. Sehingga ini menjadi panduan bagi strategi edukasi tentang stunting agar lebih menyasar pengetahuan mendasar tentang stunting,” ungkapnya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.