Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Anies Tahun Baruan Di Rumah, Nonton Film Brazil Soal Wasit Dikuasai

Selasa, 3 Januari 2023 07:25 WIB
Anies Baswedan bersama putranya, Mikail Azizi, saat nonton film dokumenter The Edge of Democracy. (Foto: Instagram Anies)
Anies Baswedan bersama putranya, Mikail Azizi, saat nonton film dokumenter The Edge of Democracy. (Foto: Instagram Anies)

RM.id  Rakyat Merdeka - Anies Baswedan mengisi momen Tahun Baru dengan menonton film dokumenter tentang politik di Brazil. Momen tersebut dibagikan bakal capres Partai NasDem ini, dalam akun Instagram pribadinya, @aniesbaswedan, kemarin.

Film yang ditonton Anies berjudul “The Edge of Democracy”, yang berkisah tentang perjalanan Presiden Brazil Lula da Silva. Anies menonton melalui aplikasi Netflix, di rumahnya. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini nonton ditemani putranya, Mikail Azizi. Keduanya santai duduk di sofa yang menghadap ke sebuah televisi, di ruang keluarga.

Ada enam foto yang dibagikan Anies dalam unggahan tersebut. Ada foto yang memperlihatkan dirinya dan Mikail berbincang di tengah nonton, ada foto yang menunjukkan keduanya tengah khusuk, ada juga foto yang fokus ke layar televisi yang menunjukkan potongan adegan film.

Anies membuat keterangan panjang lebar dalam unggahan tersebut. Total, ada 14 paragraf yang ditulis Anies. Ada yang berbicara tentang filmnya, ada juga yang nyerempet ke politik dalam negeri, ada juga soal persiapan Pemilu 2024.

"Menghabiskan awal tahun bersama Mikail dengan menonton The Edge of Democracy (2019) di Netflix. Dokumenter yang dibuat oleh Petra Costa, sineas perempuan milenial dari Brazil, bercerita tentang erosi demokrasi dan perjalanan politik Lula da Silva sebagai Presiden," tulis Anies, di awal keterangannya.

Anies lalu menjelaskan, film dokumen itu bercerita soal upaya penyingkiran Lula da Silva. Lula da Silva merupakan Presiden Brazil yang dilantik Minggu (1/1). Dia menjabat ketiga kalinya. Batas menjadi presiden di Brazil adalah dua periode, namun bisa menjabat lagi usai sebelumnya dilengserkan karena tuduhan korupsi.

"Dokumenter ini lalu bercerita tentang upaya penyingkiran terhadapnya melalui pengadilan yang kontroversial atas tuduhan korupsi, walau pada 2021 Mahkamah Agung membatalkan hukumannya," lanjut Anies.

Baca juga : Sambut Tahun Baru, Masyarakat Di Timur Indonesia Bakal Saksikan Batfest 2022

Dengan tuduhan korupsi itu, lanjutnya, lawan Lula melenggang mulus menjadi Presiden Brazil, sebelum akhirnya kembali dikuasai Lula. "Kejatuhan Lula dan erosi demokrasi di Brazil membuka jalan bagi Jair Bolsonaro," ujarnya.

Menyaksikan film tersebut, Anies mengaku teringat dengan buku yang pernah dia baca 'How Democracies Die'. Menurut Anies, buku keluaran 2018 itu mengupas tiga tahap untuk melemahkan demokrasi.

Tahap pertama, kata Anies, “kuasai wasitnya”. Yaitu dengan mengganti para pemegang kekuasaan di lembaga negara netral dengan pendukung status quo.

Di poin kedua, Anies berbicara secara tersirat mengaitkan dengan kasus dugaan korupsi Formula E, yang memang terkadang menjadi batu sandungan baginya. “Singkirkan lawan politik dengan cara kriminalisasi, suap, atau skandal,” imbuhnya.

Sedangkan di poin ketiga, Anies bicara mengenai aturan main. Mungkin yang dimaksudnya adalah Konstitusi atau Undang-Undang. “Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan," tulisnya.

Menurut mantan rektor Universitas Paramadina itu, pelemahan demokrasi sebagaimana yang dijabarkan dalam buku itu dapat menyebabkan publik menjadi terbiasa dengan kondisi baru yang sebetulnya buruk. Dia menyebut fenomena buruk itu bisa saja dianggap kewajaran baru. "Pelemahan demokrasi secara perlahan seperti itu dapat sebabkan shifting baseline syndrome," ucapnya.

Dengan kondisi ini, lanjutnya, publik menjadi terbiasa dengan kondisi baru yang memperburuk keadaan. "Kondisi yang penuh oleh praktik yang dulunya dipandang tidak normal dan tidak boleh dinormalkan dalam demokrasi, tapi karena perburukannya berlangsung perlahan maka tanpa disadari dianggap kewajaran baru," jelas mantan Juru Bicara Jokowi di Pilpres 2014 ini.

Baca juga : PUPR Gandeng PLN Terangi Bantuan Rumah Untuk Masyarakat

Mantan Mendikbud ini bilang, fenomena pelemahan demokrasi ini akan terlalu berat dikembalikan ke relnya jika terlambat diatasi. "Dari dokumenter ini, dunia belajar bahwa demokrasi tidak boleh taken for granted, tapi harus terus dirawat. Penyimpangan, walau hanya kecil namun kontinyu terhadap etika dan praktik demokrasi, akan menjadi lebar bila dibiarkan. Pesan pentingnya: bila terlambat maka akan menjadi terlalu berat untuk dikembalikan pada relnya," tutur dia.

Kembali ke film dokumenter itu, Anies menyinggung Lula da Silva yang baru saja dilantik sebagai Presiden Brazil. Dia mengucapkan salut kepada sang sutradara, Petra Costa.

"Kemarin, Lula da Silva dilantik menjadi presiden setelah mengalahkan Jair Bolsonaro dalam Pemilu tahun lalu. Ia berjanji hadirkan kembali program sosial dan hentikan deforestasi. Komitmen yang tentu harus dibuktikan dan harus dikawal oleh rakyatnya. Salut untuk Petra Costa yang mengangkat tema penting ini," tutup dia.

Menanggapi tontonan dan narasi yang dibuat Anies, NasDem memberikan pembelaan. Ketua DPP NasDem Effendy Choirie menyatakan, kini publik sudah cerdas dalam memaknai pesan yang disampaikan Anies. "Publik sudah cerdas, pasti paham," sebut Gus Choi, sapaan Effendy Choirie, kemarin.

Gus Choi mengatakan, pembahasan yang dilempar Anies bagus untuk dimaknai pesannya. Pengetahuan dari film dan buku bisa menjadi pelajaran bagi pemimpin di Indonesia.

Gus Choi lalu menyinggung soal pemimpin yang kaya akan pengetahuan. Menurutnya, seseorang akan lebih bijaksana lantaran memiliki banyak pengalaman. "Suatu negara atau seseorang yang makin banyak bacaannya, pengetahuan dan pengalamannya akan lebih cerdas, lebih arif dan bijaksana," beber dia.

PAN tak setuju dengan narasi yang dibuat Anies. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga menegaskan, demokrasi Indonesia saat ini sangat jauh dari hal-hal tersebut. "Itu cerita dari Brazil, dan tidak ada hubungannya dengan Indonesia saat ini. Indonesia telah meninggalkan praktik pemerintahan otoritarian, yaitu suatu pemerintah atas nama negara," ucap Viva.

Baca juga : 40 Tahun Jalankan Sistem EPR, Korsel Sukses Daur Ulang Sampah Plastik

Namun, menurut Viva, peristiwa demokrasi yang dibagikan Anies di Instagram itu bisa dijadikan pelajaran demokrasi Indonesia ke depan. Sehingga Indonesia bisa semakin maju dalam membangun peradaban dan tidak kembali ke masa kelam demokrasi.

"Saat ini, komitmen Pemerintah dalam membangun demokrasi ditujukan pada terciptanya kelembagaan demokrasi melalui berfungsinya mekanisme check and balances di tengah-tengah masyarakat," tegas dia.

Sementara, Direktur Eksekutif Trias Politik Strategis Agung Baskoro menyebut, Brazil bisa menjadi contoh komparatif. Sebab, Brazil dan Indonesia memiliki kesamaan soal populasi yang besar, sistem demokrasi yang dianut, dan situasi politik yang sedang dihadapi.

"Termasuk dalam konteks wacana 3 periode, ini perlu disikapi dengan tegas. Anies mampu membaca perihal ini agar dirinya dapat merepresentasikan aspirasi publik yang mayoritas menolaknya," ucap Agung, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.