Dark/Light Mode

Praktisi Hukum: Perkuat LPSK Agar Tak Ada Lagi Justice Collaborator Kena Prank

Rabu, 25 Januari 2023 05:30 WIB
Bharada E atau Richard Eliezer, terdakwa sekaligus Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan Brigadir J. (Foto: RM/Ng Putu Wahyu Rama)
Bharada E atau Richard Eliezer, terdakwa sekaligus Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan Brigadir J. (Foto: RM/Ng Putu Wahyu Rama)

RM.id  Rakyat Merdeka - Praktisi Hukum Hendra Setiawan Boen turut mengungkapkan kekecewaannya atas tuntutan 12 tahun terhadap Bharada E atau Richard Eliezer, terdakwa sekaligus Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan Brigadir J.

Menurut Hendra, tidak adil bagi Richard yang telah membuka secara terang benderang peristiwa ini justru dituntut lebih tinggi dari pelaku utama yaitu terdakwa Putri Candrawati yang hanya 8 tahun.

“Terus terang saya kasihan dengan Richard Eliezer yang seperti dikerjai berulang kali. Pertama, dijadikan kambing hitam oleh atasannya, Sambo dan Putri. Sekarang dia kena prank agar bisa membuka kasus seterang-terangnya dengan imbalan dapat meneruskan karir di kepolisian. Setelah Eliezer menjalankan kewajiban sebagai JC, malah oleh kejaksaan dianggap bukan penguak fakta. Penguak fakta versi JPU adalah keluarga Almarhum Yoshua,” ujar Hendra dalam keterangan persnya, Selasa (24/1/2023).

Hendra mempertanyakan logika JPU karena tidak ada satupun keluarga Yoshua ada di tempat pada saat penembakan berlangsung.

Baca juga : Komisi IX DPR Dukung Presiden Cabut PPKM, Tapi Ada Syaratnya

Kata dia, dari fakta persidangan terlihat adalah Eliezer yang membuka urutan kejadian. Termasuk dugaan Sambo adalah penembak kedua, di mana tembakan kedua ini yang menghilangkan nyawa Yoshua.

Hendra menerangkan, sesuai penjelasan Pasal 10A UU 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa saksi pelaku yang menjadi JC berhak mendapatkan keringanan pidana.

“Jadi di sini terlihat jelas kekurangan dari sistem perlindungan saksi dan korban dalam hukum acara pidana Indonesia yang perlu dibenahi. Adalah tidak adil bagi orang yang berjasa menjadi JC tapi tidak mendapatkan haknya karena dua lembaga negara yang menangani penetapan menjadi JC masih berpendapat berbeda tentang kelayakan yang bersangkutan menjadi JC,” terang Hendra.

Hendra khawatir bila praktek ketidakadilan ini dibiarkan terus maka tidak ada lagi yang mau menjadi JC karena tidak berfaedah dan memberikan keuntungan kepada tersangka/terdakwa.

Baca juga : Partai Garuda: Tuduh Pemerintah Mematikan Kritik, Anies Justru Mematikan Kebenaran

Untuk itu, Hendra mengusulkan pentingnya memperkuat LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Sehingga LPSK menjadi satu-satunya lembaga negara yang berwenang menentukan apakah seseorang layak menjadi JC atau tidak.

"Keabsahan seseorang menjadi JC dituangkan dalam sebuah perjanjian dan ditandatangan oleh LPSK dan penyidik maupun kejaksaan. Perjanjian tersebut kemudian tinggal diratifikasi atau disahkan oleh majelis hakim," usul Hendra.

Hendra melanjutkan, ini mengadopsi sistem plea bargain di Amerika. Plea bargain tersebut dapat diberlakukan juga kepada pelaku yang mengakui kesalahan sehingga dapat mengurangi beban pengadilan mengadili perkara-perkara yang peristiwanya terang dan diakui pelaku.

Baca juga : Perkuat Petani Tebu Rakyat, Sinergi Gula Nusantara Gaet Perbankan

"Sekaligus melengkapi sistem restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia,” tutup Hendra.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.