Dark/Light Mode

Ini 9 Persoalan di Draf RUU KPK Yang Dinilai Berisiko Lumpuhkan Kerja KPK

Kamis, 5 September 2019 19:43 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/8). (Foto: Tedy O Kroen/Rakyat Merdeka)
Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/8). (Foto: Tedy O Kroen/Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tegas menolak revisi Undang-Undang (UU) KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo menilai, ada sembilan persoalan dalam draf revisi UU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja komisinya.

Sembilan persoalan itu adalah:

1. Independensi KPK terancam

  • KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
  • KPK dijadikan lembaga pemerintah pusat 
  • Pegawai KPK dimasukan dalam kategori Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai, yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.

Baca juga : Zivran: Berkat Doa dan Kerja Keras

2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi

  • Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya.
  • Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK
  • Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi.
  • Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang.
  • Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan.

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

  • DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih Pimpinan KPK tetapi juga memilih Dewan Pengawas.
  • Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti: penyadapan, penggeledahan dan penyitaan

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi

  • Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan Penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri
  • Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka Penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti: CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.
  • Selama ini proses Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekruitmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber

Baca juga : Ibu Kota Bukan Ibu Kos

 5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung

  • KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi. Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.

  • Ketentuan yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat;
  • Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas

  • Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan;
  •  KPK tidak lagi bisa mengambil alih Penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.

Baca juga : ICW : Pansel Capim KPK Gagal Berikan Optimisme Publik

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan

  • Pelarangan ke luar negeri
  • Meminta keterangan perbankan
  • Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi
  • Meminta bantuan Polri dan Interpol

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas

  •  Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara
  • Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi;
  • Selama ini KPK telah membangun sistem dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.