Dark/Light Mode

90 Persen Lahan Milik Negara

Ibu Kota Bukan Ibu Kos

Kamis, 29 Agustus 2019 09:15 WIB
Desain pusat Ibu Kota baru di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. (Foto: Kementerian PUPR)
Desain pusat Ibu Kota baru di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. (Foto: Kementerian PUPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sebagian gedung yang akan dipakai di lokasi Ibu Kota baru nanti, akan dibangun oleh pihak swasta. Lalu, pemerintah akan menyewa gedung itu sampai batas waktu tertentu, sampai jadi milik negara. Sewa-menyewa gedung ini dianggap seperti Ibu Kota bukan “ibu kos".

Pemerintah akan mengajak swasta dan BUMN untuk mengurangi beban anggaran yang harus ditanggung negara, dalam pembangunan Ibu Kota tersebut. Kerja sama dengan pihak swasta dan BUMN itu dilakukan dalam bentuk skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, dalam KPBU ini ada jangka waktu pengelolaan gedung yang disepakati antara pemerintah dengan swasta. Bambang mengumpamakan, masa konsesinya 20 tahun.

“Selama 20 tahun itu, pemerintah membayar fee pemakaian gedung. Sampai nanti gedung itu menjadi milik pemerintah sepenuhnya,” tutur Bambang.

Sekjen DPP Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, menerangkan, skema kerja sama pembangunan gedung yang tengah digodok dengan pemerintah itu mirip build, operate and transfer (BOT).

Baca juga : Prioritaskan Pembebasan Lahan, Wahidin Kebut Pembangunan Jembatan

Skema seperti ini sudah pernah dijalankan di beberapa proyek kemitraan antara pemerintah dengan swasta. Selaku representasi pihak swasta, ia berharap ada kepastian hukum yang saling menguntungkan dalam skema kerja sama tersebut. Sehingga, tidak ada yang dirugikan. Sebab, skema BOT sebagaimana diatur Perpres No- mor 6/2013, masih banyak yang perlu didiskusikan ulang.

“Yang BOT murni itu kan ada batasan dengan Perpres zamannya Pak SBY. Jadi, BOT itu tidak boleh disewakan. Tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dijaminkan. Jadi, harusnya ya bukan BOT yang seperti itu,” kata Paulus saat dihubungi Rakyat Merdeka tadi malam.

Ia berharap, jika sistem BOT yang diterapkan, masa sewanya tidak dibatasi hanya 20 tahun.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, ikut komentar. Kata dia, jika di masa-masa awal pemerintah harus membayar sewa, berarti pemerintah belum memiliki sepenuhnya lahan dan gedung di lokasi Ibu Kota baru. Kondisi ini berbeda dengan di Jakarta, yang menguasai penuh gedung dan lahan pemerintah.

Di Jakarta, pemerintah bahkan banyak menyewakan lahan dan gedung ke pihak swasta. “Di Jakarta, pemerintah bertindak sebagai ibu kos, yang banyak menyewakan lahan dan gedung ke swasta. Di Ibu Kota baru, pemerintah bukan lagi ibu kos,” kata Pangi, kemarin.

Baca juga : KPDJ Manjakan Kaum Disabilitas Ibu Kota

Soal pemindahan Ibu Kota, Pangi melihat hal ini karena beban Jakarta sudah terlalu berat. Seperti kemacetan parah, polusi udara, krisis air, dan seterusnya. “Sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Situasi ini tentu sangat tidak ideal bagi Jakarta, untuk tetap dipertahankan sebagai Ibu Kota pusat pemerintahan, sekaligus kota bisnis,” jelas Pangi.

Sebenarnya, pemerintah punya tanah luas di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, calon lokasi ibukota baru. Luasnya 180 ribu hektar. “90 persen tanah negara,” ucap Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, di Istana Ke- presidenan, Jakarta, kemarin.

Dia juga memastikan, dalam pemindahan Ibu Kota, tidak ada konspirasi antara pemerintah dengan Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo. Sebelumnya, memang beredar isu bahwa sebagian besar tanah di lokasi Ibu Kota baru merupakan milik Prabowo dan Hashim.

“Sepanjang yang saya tahu, tidak ada dari nama-nama yang Anda sebut,” tegas Sofyan, menjawab pertanyaan wartawan. Dia menegaskan, 90 persen lahan di lokasi ibukota baru sepenuhnya dikuasai negara.

Lalu, 10 persen sisanya punya siapa? Sofyan tidak menjabarkan lebih jauh. Yang jelas, 10 persen lahan bakal Ibu Kota masih dikonsesikan kepada swasta berupa hutan tanaman industri (HTI).

Baca juga : Keren, WIKA Berhasil Catat Kontrak Baru Rp 20,3 T

Lagipula, kata Sofyan, 10 persen lahan itu tidak juga langsung dimanfaatkan. Sebab, pembangunan dilakukan secara bertahap. Negara masih punya banyak pilihan lahan lain yang bisa dimanfaatkan. Paling-paling, sisa lahan 10 persen itu sebagian besar akan dipakai untuk membangun jalan penghubung dari dan ke Ibu Kota.

“Misalnya, untuk awal 40 ribu hektar dulu. Itu luas lho. Jakarta saja cuma 60 hektar,” terang Sofyan.

Warganet ikut mengomentari keputusan pemerintah bakal menyewa gedung pemerintahan di Ibu Kota baru. Ada yang setuju, ada yang menolak. Yang setuju salah satunya akun @ Zulkifllubis71. Dia tidak masalah pemerintah menyewa gedung itu. Sebab, nantinya gedung itu menjadi milik pemerintah.

“Swastanya yang mengelola gedungnya, selama 20 tahun. Dalam 20 tahun itu, pemerintahan membayar fee ke swasta. Sampai nanti gedung itu menjadi milik pemerintah sepenuhnya,” tulisnya. [SAR/TIF]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.