Dark/Light Mode

Moderasi Beragama Titik Temu Keragaman Agama & Kebudayaan

Jumat, 22 Desember 2023 23:00 WIB
Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Prof Syamsul Maarif. (Foto: Istimewa)
Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Prof Syamsul Maarif. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sikap yang moderat dalam beragama terbukti menjadi pemecah dalam kebuntuan komunikasi dan konsolidasi antara kelompok masyarakat dengan beragam latar belakang. Sikap moderat ini dalam ajaran Islam disebut dengan istilah wasathiyah atau dikenal dengan moderasi beragama, jika merujuk pada frasa yang lebih universal. Moderasi beragama sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan sifat alami dari agama yang mendorong manusia memiliki hubungan yang baik dengan sesama. 

Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Prof Syamsul Maarif menjelaskan, ada urgensi yang dirasakan dan mendasari penerapan moderasi beragama. Konsep ini dianggap dapat menjembatani segala bentuk kekakuan sosial di tengah masyarakat akibat radikalisasi pemikiran dan agama. Radikalisme senantiasa dihembuskan pihak-pihak yang cenderung menyukai kekerasan sebagai pilihan dalam mencapai tujuannya. 

“Mereka yang terpengaruh dengan radikalisme dan terorisme tentu ingin memporak-porandakan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kelompok semacam ini ingin menghancurkan tatanan masyarakat yang telah terbangun dengan baik dan berdasar pada kearifan lokal. Dasar negara yang selama ini kita yakini adalah hasil dari founding fathers serta berdasarkan pada filosofi para leluhur bangsa, sehingga pada dasarnya Indonesia lebih mengedepankan harmoni, cinta kasih, kepedulian, dan mutual respect kepada siapa pun tanpa ada batasan tertentu,” terangnya, dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (22/12).

Menurutnya, moderatisme atau sikap moderat adalah suatu cara pandang yang harmonis dan mengutamakan kedamaian antarmakhluk Tuhan. Moderatisme bukanlah mazhab baru ataupun bid'ah seperti yang dituduhkan sebagian pihak. Kata dia, moderasi justru esensi dari agama yang berada pada titik kesimbangan yang berada di tengah semua individu terlepas apapun latar belakangnya.

Baca juga : Indef Apresiasi Gebrakan Ganjar Putihkan Kredit Macet Nelayan

Konsep moderasi beragama, lanjut Syamsul, berada dalam koridor dan ketentuan hukum agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleran dan saling menghormati). 

Oleh karena, menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah. Pada saat yang sama, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.

“Moderasi beragama adalah cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu di antara berbagai perbedaan keimanan. Sikap ini memandang bahwa semua orang, terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada akhirnya kembali kepada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang menerima kodrat penciptaannya,” ungkap Prof Syamsul.

Ia menambahkan, kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama juga tidak terlepas dari maraknya ideologi transnasional yang disebarkan dan menyelinap masuk dalam kehidupan sehari-hari. Bahaya laten dari pemahaman ini adalah terkikisnya sikap toleransi terhadap keberagaman, bahkan bisa menihilkan budaya asli Indonesia yang sebetulnya sarat dengan pesan kebijaksanaan dan kebaikan.

Baca juga : Moderasi Beragama Cara Terbaik Perangi Radikalisme dan Terorisme

Syamsul menilai, radikalisme yang berbasis pada agama sebenarnya berakar dari gerakan ideologi. Maka dari itu, perlawanan yang sesuai adalah dengan menghadapinya melalui kontra ideologi yang efektif dan holistik, serta mengedepankan rasionalitas. 

“Agama dan budaya bisa diibaratkan sebagai jangkar yang berfungsi menahan arus pembawa ideologi transnasional agar tidak menghanyutkan insan Indonesia dalam pengaruh negatif,” tuturnya.

Penulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam” pada 2020 ini menambahkan, dalam ajaran Islam, terdapat hadist yang indah mengenai makna Muslim yang hakiki, yaitu yang dapat menyelamatkan Muslim lainnya dari lisan dan tangannya (perbuatannya). Hadits ini menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku agar tidak menyakiti orang lain.

“Perilaku, ucapan, dan bahkan pikiran kita, semuanya merefleksikan kedalaman keyakinan dan penghambaan kita kepada Allah. Setiap ucap dan laku memiliki konsekuensinya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak. Kecenderungan alamiah, perbuatan, dan keinginan hati kita, semuanya harus selaras dengan ajaran agama demi mewujudkan penghambaan yang hakiki kepada Tuhan Yang Maha Esa,” imbuh Prof Syamsul.

Baca juga : Kiai Muda Ganjar Gelar Doa Bersama Di Nganjuk Demi Kemenangan Ganjar-Mahfud

Mengakhiri penjelasannya, dia mengajak kepada seluruh umat beragama agar berhati-hati dalam tutur kata dan perbuatan. Setiap individu di Bumi Pertiwi selayaknya bisa menjadi sosok yang menyebarkan kebaikan, menghindari keburukan, dan senantiasa menjaga keharmonisan sesama masyarakat. “Karena itulah wujud sejati keimanan yang dicintai Allah,” tandas Prof Syamsul.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.