Dark/Light Mode

Alasan Garap Kasus Kakap, Jaksa Agung: Banyak Negara Runtuh Akibat Korupsi

Selasa, 9 April 2024 16:03 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Puspenkum Kejagung)
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Puspenkum Kejagung)

RM.id  Rakyat Merdeka - Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak menampik anggapan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) lebih mengutamakan penanganan kasus korupsi kelas besar, dan dilakukan oleh orang-orang berpengaruh.

Burhanuddin mencontohkan kasus-kasus korupsi kakap tersebut. Di antaranya, Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru PT Timah.

Dia bilang, status perkara tersebut di antaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masuk proses penyidikan.

"Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya," kata Burhanuddin, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/4/2024).

Atas dasar tersebut, menurut Burhanuddin, Kejagung menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.

Baca juga : Update Kecelakaan Tol Japek, Jasa Marga: Jalur Arah Jakarta Sudah Bisa Dilalui

Sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase "dapat" pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss).

Burhanuddin berpendapat, perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda.

"Perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut," ujarnya.

"Antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya," lanjut saudara kandung dari politisi PDIP TB Hasanuddin itu.

Di sisi lain, menurutnya, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan.

Baca juga : Rajin Garap Kasus Triliunan, Jaksa Agung Makin Bersinar

Serta, memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.

Juga, memperhatikan aspek sosial budaya seperti konflik sosial atau hilangnya pendapatan masyarakat.

"Itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala," ingat Burhanuddin.

Ia juga menegaskan, korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap.

Namun, titik beratnya adalah kerugian negara dan perekonomian negara, seperti proyek-proyek strategis nasional.

Baca juga : Jelang Lebaran, KPK Imbau Pegawai Negeri-Penyelenggara Negara Tolak Gratifikasi

Burhanuddin menekankan, korupsi juga melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan negara secara masif.

“Sudah banyak negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara,” tandasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.