Dark/Light Mode

Krisis Pangan Di Depan Mata

Beras Jangan Sampai Langka Dan Mahal Ya

Selasa, 28 Juli 2020 07:20 WIB
Marcelino Pandin (kiri) dan Sugeng Budiharsono. (Foto: Istimewa)
Marcelino Pandin (kiri) dan Sugeng Budiharsono. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wabah virus corona bikin produksi pangan berkurang. Di saat yang sama, musim kemarau sudah tiba. Produksi pangan pun bisa makin seret. Untuk itu, pemerintah harus bergerak cepat mencari cara mengamankan pasokan pangan. Jangan sampai beras langka dan mahal.

Begitu intisari diskusi “Ngopi Pagi” virtual, Rakyat Merdeka. Acara Ngopi Pagi kemarin sedikit berbeda. Karena, ada dua narasumber sekaligus yang hadir. Yaitu Pakar Ekonomi Regional Marcelino Pandin dan Pakar Pengembangan Pedesaan dan Pertanian Sugeng Budiharsono.

Tema yang dibahas, “Krisis Pangan di Depan Mata”. Acara dipandu tiga wartawan senior Rakyat Merdeka: Kiki Iswara, Ratna Susilowati, dan Budi Rahman Hakim.

Dalam paparannya, Marcelino mendorong semua pihak yang berkaitan dengan isu food security punya sense of crisis. Sebab, krisis pangan sudah di depan mata. Harus segera diantisipasi.

Dalam kondisi krisis ini, Indonesia juga tidak bisa mengandalkan impor. Sebab, negara-negara pengekspor beras, seperti Vietnam dan Thailand, telah menerapkan proteksi ketat untuk melindungi ketahanan pangan masing-masing.

Vietnam telah mengeluarkan aturan impor baru. Sedangkan Thailand menaikkan harga pangannya. “Intinya, mencoba mem-protect demi melindungi ketahanan pangan mereka,” ucapnya.

Baca juga : Gelar Lamaran Di Hotel Mewah, Nikita Willy Jalanin Wasiat Sang Ayah

Atas hal itu, kata dia, sejak awal Indonesia perlu punya cadangan strategis nasional. “Tidak hanya BBM yang punya cadangan strategis nasional, tapi juga cadangan-cadangan strategis nasional untuk pangan,” sarannya.

Food estate adalah salah satu solusi untuk menghasilkan cadangan pangan. Menurut Marcelino, cara-cara ini sudah dilakukan negara-negara maju dalam mengamankan pangan mereka.

Mereka bahkan lebih dulu mengamankan pangan dan energy sebelum melakukan pembangunan fisik. Pembangunan pangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Banyak juga di luar negeri.

Negara-negara Eropa membangun ketahanan pangan di Afrika. Sedangkan negara-negara Timur Tengah di Kamboja dan Filipina. “Beberapa negara sudah mengantisipasi hal tersebut. Harapannya, Indonesia juga demikian,” tukasnya.

Sedangkan China, Jepang, dan Korea Selatan pakai cara lain. Mereka membangun ketahanan pangan dengan mengubah pola makan. Untuk Indonesia, mengubah pola makan bukan hal mudah. Membutuhkan proses panjang.

“Di Indonesia ini, beras malah jadi simbol status sosial. Di Papua, padahal mereka punya sagu dan sebagainya,” keluhnya.

Baca juga : Pelanggaran Protokol Kesehatan Masih Marak, Jangan Paksakan Pola Hidup Baru

Sedangkan Sugeng menjelaskan, kesediaan pasokan dan keterjangkauan harga beras harus jalan beriringan. Kalau ketersediaannya melimpah sementara harga mahal, daya beli masyarakat berkurang.

Hal ini yang perlu diantisipasi pemerintah. “Jangan sampai daya beli berkurang lalu harga beras dinaikkan,” jelasnya.

Dia berharap, semakin banyak tingkat produksi beras, harga pun menurun. Sebab, dalam kondisi krisis ini, masyarakat rentan dengan kenaikan harga.

“Dulu food security itu dari nasional atau wilayah. Namun sekarang, ada perkembangan baru food security itu dimulai dari rumah tangga,” sebutnya.

Dia mendesak pemerintah meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Apalagi sekarang memasuki musim gaduh, maksudnya perairan relatif rendah.

Pemanfaatan lahan yang belum digarap Perhutani atau lahan dinas lainnya dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas. “Terpenting untuk kesediaan itu bisa ditingkatkan melalui intensifikasi untuk lahan-lahan yang sudah mapan,” sarannya.

Baca juga : AS-China Tegang Lagi, Rupiah Jangan Jantungan Ya...

Menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), produktivitas pangan di Indonesia masih rendah. Rata-rata hanya 3 ton per hektar per musim.

Untuk meningkatkan ini, kata Sugeng, Indonesia perlu benih dan varietas yang baik supaya menghasilkan minimal 5 ton per hektar per musim.

Selain itu, ketersediaan pupuk juga harus tepat waktu. “Kita bisa meningkatkan sampai 10 ton per tahun. Sedangkan produksi kita pada 2019 mencapai 50 juta ton. Mungkin di tahun ini kita bisa tingkatkan sampai 60 ton,” tambahnya. [UMM]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.