Dark/Light Mode

Bikin Kaos Berdesain Aksara Nusantara

Top, Cara Milenial Cari Duit Sekalian Lestarikan Budaya

Minggu, 14 Februari 2021 21:50 WIB
Bule asal Prancis yang senang memakai kaos serat bambu bertuliskan Aksara Bali. (Foto: IG @devi.kurnia.37)
Bule asal Prancis yang senang memakai kaos serat bambu bertuliskan Aksara Bali. (Foto: IG @devi.kurnia.37)

 Sebelumnya 
Ia pun percaya, dengan konsep yang ia buat setidaknya menjadikan usahanya berbeda, alias antimainstream dengan kebanyakan kompetitor kaos serupa. Ia yakin,  usaha yang dibangun dari hati dan memiliki misi luhur, pasti akan melahirkan hasil yang baik.

Menurut Himawan, aksara Jawa ini memiliki bentuk sangat unik dan menarik. Saking tertariknya dengan aksara jadul itu, ia sudah bisa menghapalnya saat SD dan SMP. Sehingga dia tidak membutuhkan usaha jeras saat kembali mencoba mengingat dan belajar lagi, bagaimana urutan-urutannya seperti Honocoroko Dotosowolo Podojoyono.

“Buat saya pribadi, ini sesuatu yang unik. Tapi kalau belum kenal susah untuk cinta. Itu kenapa mengenal dulu baru bisa menyelami,” pesannya.

Tak cukup dari dua milenial pelaku usaha sekaligus pecinta aksara, satu lagi kawan saya dari Tabanan, Bali juga bercerita bagaimana ia cinta dengan aksara Bali. Devi Kurnia (38), memiliki suami berkewarganegaraan Prancis dan memiliki satu orang putri. Dia tak ingin melihat anaknya tumbuh tanpa mengenal warisan tanah leluhurnya, salah satunya aksara Bali.

Awalnya, Devi hanya berpikir ingin membuat sesuatu ciri khas yang bisa mereka kenakan ketika suatu hari hijrah ikut sang Suami ke Prancis. Kebetulan ayahnya memiliki usaha garmen, sehingga tekad Devi membuat kaos untuk keluarga kecilnya dengan desain aksara Bali pun terwujud.

Namun lambat laun ketika berkunjung ke Prancis, keluarga, kolega sang suami justru jatuh cinta dengan ornamen dan bentuk dari aksara Bali. Akhirnya Devi memutuskan untuk memproduksi lebih banyak kaos aksara Bali yang ia buat.

“Jadi sekarang kalau pulang kampung ke negara suami, ya oleh-olehnya kaos aksara Bali dengan berbagai macam motif dan padanan kata ini. Mereka suka banget, sampai komentar, oh ada yang tulisan seperti ini di Indonesia. Saya bilang itulah Indonesia yang unik,” cerita Devi kepada Rakyat Merdeka.

Baca juga : Pandi Gelar Training Buat Jurnalis

Memiliki impian untuk lebih banyak lagi masyarakat Bali serta para wisatawan, terutama asing, mengenal lebih dekat dengan aksara Bali, maka Devi dan adiknya memutuskan berbisnis kaos aksara Bali. Seiring waktu, peminat kaos aksara Bali buatannya kian banyak. Devi memperluas usahanya dengan membuat kaos aksara Bali berbahan serat bambu agar lebih ramah lingkungan. 

Dalam membuat desain aksara Bali, ia juga dibantu oleh teman-teman yang memang mengajarkan aksara Bali. Hal ini dilakukan agar tak terjadi kekeliruan dalam penulisan aksara di kaos buatannya. “Sekaligus menjadi pengingat bagi saya sendiri, adik dan teman-teman untuk terus belajar terkait aksara Bali ini. Karena di Bali sejak SD sampai SMA juga diajarkan, tapi kan suka lupa-lupa ingat..hehehe,” imbuhnya.

Di Bali, sambung dia, penggunaan aksara Bali cukup kental. Hal ini lantaran didukung oleh Gubernur Bali, yang membuat aturan daerah seputar penggunaan aksara Bali. Secara tidak langsung, ini menjadi support tersendiri bagi usahanya.

Dilarang Asal Tempel

Apa yang dilakukan oleh Fira, Himawan serta Devi ini memang bisa dibilang inovatif. Terutama dalam upaya pelestarian aksara Nusantara di tengah persaingan era digital. Lantas apakah upaya mereka termasuk kategori monetizing kebudayaan? Yang hanya memiliki dampak positif bagi segelintir orang.

Pertanyaan ini yang membuka diskusi ringan Rakyat Merdeka dengan alah satu praktisi dan Tipografer Aksara Daerah Indonesia, Aditya Bayu Perdana. 

Dia berpendapat, me-monetizing aksara lewat merchandise, misalnya kaos, adalah hal yang sah-sah saja. Bahkan sebenarnya, upaya ketiga anak muda tersebut perlu diapresiasi. Sebab, di satu sisi mereka mengenalkan aksara lewat kaos, dan di sisi lain ketiganya juga meraih manfaat atau keuntungan dari apa yang mereka jual.

Baca juga : Bos-bos Pertamina Cek Layanan Tol Trans Jawa Dan Serahkan Bantuan Ke Gereja

Terkadang, kata pria yang kerap dipanggil Abay ini, agar sesuatu itu mudah diterima, memang perlu dikemas secara apik. Kalau aksara lebih indah atau divisualisasikan tak lazim, terutama pada pakaian, merchandise dan lainnya, mengapa tidak?

“Jika indah, lalu membuat penasaran orang lain yang melihatnya, akhirnya kan mereka mencari tahu dan belajar hingga jatuh cinta pada aksara. Ibarat orang kalau sudah jatuh cinta, apapun bisa dilakukan,” ujarnya. 

Namun, lanjut Abay, ia lebih menyoroti bagaimana aksara Nusantara diimplementasi secara cermat dalam media tersebut. Baik dari sisi pelafalan maupun ejaannya. Karena kalau salah penulisan, bisa menjadi salah arti. Karena aksara Nusantara memiliki pakemnya sendiri.

“Kalau bicara digitalisasi, dalam konteksnya sudah ada font dan software khusus aksara tertentu, saya rasa itu belum cukup. Mengapa? Karena praktiknya banyak aksara yang beredar saat ini cuma asal tempel dari font yang ada di keyboard, tanpa dikroscek kembali pelafalannya secara benar,” kritiknya.

Intinya, kata Abay, buat mereka yang ingin serius belajar soal aksara, harus ada semacam rasa kerendahan hati dan keinginan bertanya dan menggali ke orang yang ahli. “Kroscek, forum, komunitas sudah banyak tersedia. Menulis aksara memang agak tricky. Bahasa Inggris misalnya. Ketika diterjemahin ke aksara bagaimana pengucapannya, bukan sebagai tulisannya saja. Kadang pengucapan beda dengan tulisan,” jelas dia.

Diakui Abay, penggunaan font yang bentuknya terbatas, kerap kali itu-itu saja huruf yang ditonjolkan. Sehingga terkesan aksara adalah sesuatu yang tidak menarik membosankan. Padahal banyak kendala-kendala mengapa aksara Nusantara belum masif dikenal masyarakat.

Pertama, tidak ada tempat pasti masyarakat untuk bertanya. Sehingga mereka ambil jalan pintas, yakni langsung memakai aplikasi font aksara. Masyarakat tidak tahu kalau apa yang dia tulis itu salah. Kedua, tanpa kroscek ke ahli atau orang yang lebih paham, membuat penulisan aksara tidak optimal. Ketiga, kalau pun sudah bertanya dengan ahli, tapi bisa saja penulisannya cenderung membosankan.

Baca juga : Berkunjung Ke Bendungan Semantok, Stafsus Wapres Cari Solusi Kendala Penyelesaian Proyek

"Karena itu-itu saja. Sehingga menurut tampilan visual tidak menarik dan optimal. Aksara kita memang belum sampai pada level variasi yang punya banyak pilihan,” imbuhnya. 

Sekarang, penggunaan aksara memang mulai meningkat pasca tahun 2000-an. Namun masih tergantung dari pengguna masing-masing jenis aksaranya. Di Bali, ada peraturan gubernur yang mendukung penggunaan aksara. Di mana basis penulisan aksara di sana lebih kuat dibanding daerah lain.

Sementara penggunaan aksara di Jawa lebih kepada komunitas. Banyak komunitas aksara digital Jawa yang muncul, dan mereka mengaplikasikannya sehari-hari dalam bentuk chat WhastApp dan lainnya. 

“Sekarang bagaimana perkembangan aksara ini dikawal baik, bisa tetap berinovasi dengan berbagai gaya tulisan namun sesuai pakem. Kita bisa tiru Filipina dengan aksara daerahnya Baybayin, di mana pelestariannya dimulai dari kalangan grassroot,” jelasnya.

Di sana, desainer-desainer grafis muda memicu dengan mendesain Baybayin sekreatif mungkin. Dan aplikasinya sebanyak huruf latin, tanpa menyalahi aturan dan spirit dari Baybayin. Yang kemudian populer dipakai anak muda dan bisa diterapkan secara nasional.

“Tanpa menghilangkan basic aksara itu sendiri, saya rasa akan lebih baik. Masalahnya apakah pemerintah punya taste soal itu? Dan balik lagi ke selera pada akhirnya,” pungkas Abay mengakhiri diskusi singkat dengan Rakyat Merdeka. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.