Dark/Light Mode

Presidensial Versus Parlementer Dalam Teropong Sejarawan Anhar Gonggong

Jumat, 23 April 2021 10:33 WIB
Sejarawan Anhar Gonggong. (Foto: Ist)
Sejarawan Anhar Gonggong. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejarawan Anhar Gonggong menilai, sistem presidensial sudah sejak lama mendarah daging dalam pemerintahan Indonesia. Fakta sejarah itu bisa dilacak mulai dari berbagai tulisan Sukarno di era 1930 an, naskah Pancasila 1 Juni dan penyusunan UUD 1945. Dengan presidensialisme, Sukarno melawan paham demokrasi liberal yang dibawa kolonial.

UUD 1945, kata Anhar, sebenarnya sejak awal sudah presidensialisme. Sukarno, termasuk Hatta adalah orang yang sangat alergi dengan sistem liberal, dan dalam anggapan mereka, sistem liberal ini bisa diatasi dengan sistem presidensial.

"Sukarno sudah menulis anti-liberalisme sejak tahun 1930 an, malah diulang dalam Pancasila 1 Juni, nanti kalau kita merdeka jangan pilih demokrasi liberal, karena hanya mementingkan demokrasi politik dan mengabaikan demokrasi ekonomi," kata Anhar Gonggong ketika mengisi diskusi online dengan tema Presidensial vs Parlementer yang digelar oleh  Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rabu (21/4).

Meski demikian, menurut Anhar, terjadi dinamika hebat di masa awal kemerdekaan. Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensialisme menjadi parlementarisme tak terelakkan, karena pemerintah Belanda masih berupaya menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Baca juga : Bencana Alam Jangan Jadi Bencana Corona

"Celakanya, ketika kita menghadapi persoalan keinginan imperialis Belanda untuk menguasai Indonesia, maka di situlah terjadi perubahan dari presidensial ke parlementer, akhirnya Sutan Sjahrir jadi Perdana Menteri," ujar peraih master di Universitas Leiden, Belanda ini.

Namun ada kesaksian berbeda disebutkan Anhar, yang ia kutip dari buku Tonggak-Tonggak di Perjalananku karya Ali Sastroamidjojo. Menurutnya, berubahnya sistem presidensial menjadi parlementer merupakan manuver politik Hatta dan Sutan Sjahrir untuk membonsai dan memotong kekuasaan Sukarno. Penerapan sistem parlementer itu menimbulkan masalah berat bagi Sukarno.

Kata Anhar, ketika itu, Sukarno tidak bisa berbuat banyak sebagai presiden, terlebih saat menyaksikan partai-partai politik berebut kuasa. "Bagi Sukarno, persoalan besar yang dihadapi adalah selama 8 tahun itu. Ketika penerapan demokrasi liberal dengan sistem parlementer, membuat Sukarno tidak berbuat apa-apa," paparnya.

Kejengkelan Sukarno terhadap partai-partai di parlemen tak terbendung pada peringatan Sumpah Pemuda di tahun 1956. Kala itu, Sukarno murka dan sempat berujar ingin membubarkan partai-partai politik. Sukarno melihat yang merusak ketenangan dan menyebabkan instabilitas politik Tanah Air adalah karena partai-partai sibuk berkelahi untuk mencari kedudukan.

Baca juga : Hasil Curian Lebihi Target, Maling Kena Serangan Jantung

Tapi lagi-lagi, Sukarno tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan sistem presidensial, karena dasar konstitusi Indonesia pun turut dirombak dari UUD 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Barulah kemudian Sukarno menemukan momentum untuk mengembalikan dasar konstitusi Indonesia ke UUD 1945. Perombakan konstitusi itu pun diikuti dengan penerapan lagi sistem presidensial.

"Nanti setelah memasuki tahun 1957, Sukarno mencari cara tertentu karena dia betul-betul sudah melihat bahwa sistem parlementer hanya mementingkan partai-partai yang mencari kedudukan, sehingga ada situasi keamanan perebutan Irian Barat yang memberikan ruang bagi Sukarno yang didukung oleh militer untuk kemudian kembali ke UUD 1945 dan menjadi sistem presidensial lagi," paparnya.

Alih-alih terjebak pada perdebatan format sistem pemerintahan, Anhar mengatakan apapun sistem yang dipilih harusnya memberi dampak kesejahteraan kepada rakyat. "Bentuk apa pun yang mau dipilih, yang harus ada dalam pikiran kita, adalah apakah bentuk itu akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat atau tidak, intinya kan itu," tandas Anhar.

Selain Anhar Gonggong, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini itu, juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Ramlan Surbakti dan anggota DKPP, Didik Supriyanto. 

Baca juga : 2024, Presiden Bisa Upacara HUT Kemerdekaan Di Ibu Kota Negara Baru

Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang  sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.

"Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang," kata Dea.

PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga. Sejumlah kelemahan sistem presiden telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu. [MRA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.