Dark/Light Mode

Pengamat Sentil Legislator Gagal Paham Soal Bakamla

Minggu, 26 September 2021 14:47 WIB
Tanjung Datu, Kapal Patroli Bakamla terbesar. (Foto: Ist)
Tanjung Datu, Kapal Patroli Bakamla terbesar. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pengamat militer Soleman B. Ponto menegaskan, banyak pihak yang gagal paham terkait keberadaan Badan Keamanan Laut (Bakamla) saat adanya persoalan kapal China yang masuk ke perairan Natuna.

Salah satu yang gagal paham, kata Soleman, adalah anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi yang menyebut Bakamla harus disahkan menjadi Penjaga Pantai Nasional atau National Coast Guard melalui legislasi.

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, tidak terdapat satu pasal pun yang menyatakan Bakamla harus menjadi National Coast Guard atau berhak melakukan penegakan hukum atau penyidik.

Menurutnya, yang berhak menyandang identitas Coast Guard adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). Bakamla tidak bisa menjadi Coast Guard Karena petugasnya adalah sipil. Bakamla juga bukan seperti polisi yang bisa menilang jika ada pelanggaran seperti layaknya di darat.

Baca juga : Diplomat Senior Berbagi Pengalaman Ke Mahasiswa Unihaz Bengkulu

"KPLP adalah Coast Guard-nya Indonesia sebagaimana yang tertulis pada penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," tegasnya, Minggu (26/9).

Soleman menilai, pandangan Bobby bahwa keberadaan kapal Cina di Laut Natuna Selatan gara-gara belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Bakamla juga keliru. "Salah besar itu pernyataan Pak Bobby," katanya.

Soleman menjelaskan, sesuai UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tidak ada yang menyatakan Bakamla sebagai penegak hukum atau penyidik. Tugas Bakamla hanya muter-muter di laut. Adapun untuk pertahanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di laut, sudah jelas merupakan tugas dari TNI AL sebagaimana amanat UU No 5 Tahun 1983, yakni penegakan hukum di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah TNI AL.

"Adanya Bakamla justru menambah ruwet di laut. Lembaga itu sebaiknya dilebur dengan KPLP saja," ujarnya.

Baca juga : KMP Pengayoman Tenggelam Di Nusakambangan

Soleman menduga ada pihak-pihak yang membela Bakamla karena berharap sesuatu dari badan tersebut. Padahal, selama Bakamla berdiri, justru pengadaan peralatannya berujung dugaan korupsi, seperti pengadaan radar. Jika tetap dipertahankan maka yang menjadi korban dan dirugikan adalah tetap rakyat.

"Yang jadi korban rakyat, karena perairan Indonesia dianggap high risk yang pada akhirnya membuat biaya menjadi tinggi dan harga-harga barang menjadi mahal. Masyarakat yang menanggung kerugian," jelasnya.

Pengamat maritim dari National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, sebagai wakil rakyat sudah seharusnya memahami tentang hukum kelautan yang berlaku internasional. Laut Natuna Utara juga merupakan wilayah internasional atau ZEE sehingga bukan milik satu negara. Menurutnya, pihak yang mempertanyakan adanya kapal perang China di Laut Natuna Utara sudah seharusnya fair

Bahwa di wilayah internasional itu ada juga kapal perang dari berbagai negara. Di antaranya Amerika Serikat, Prancis dan negara lain yang juga membawa peralatan perang. Harusnya mereka juga mengkritisi kapal perang dari Amerika Serikat, Prancis, Thailand, Vietnam dan negara lainnya.

Baca juga : Penjualan Ritel AS Membaik, Dolar Makin Perkasa

Rusdi mengaku prihatin adanya pihak-pihak yang tidak paham wilayah internasional berkomentar seakan-akan wilayah internasional adalah milik Indonesia. Padahal dalam hukum kelautan internasional ZEE tidak masuk wilayah negara manapun. Karena, wilayah internasional maka kawasan itu bebas dilewati oleh berbagai kapal negara lain, termasuk militer dan lainnya.

Sebelumnya, dalam sebuah program di sebuah televisi swasta, Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan persoalan kapal China di Perairan Natuna Utara disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Bakamla. Bobby menilai pengiriman KRI ke Natuna bukan untuk menilang atau menindaklanjuti sesuai proses hukum merupakan bentuk kegagapan yang disebabkan legislasi.

"Bakamla ibaratnya Polantas yang tidak bisa nilang. Kalo tidak bisa nilang bagaimana proses hukumnya, lagi-lagi TNI yang dikirim lagi dengan 5 kapal KRI ke Natuna. Ini kegagapan disebabkan tidak adanya legislasi mengenai siapa Coast Guard," katanya. [KPJ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.