Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Permendikbud Tentang Kekerasan Seksual Di Kampus

Berbau Kebarat-baratan, Frasa Persetujuan Korban Kudu Hilang

Minggu, 5 Desember 2021 07:10 WIB
Anggota Komisi X DPR An’im Falachuddin Mahrus. (Foto: Dok. DPR RI)
Anggota Komisi X DPR An’im Falachuddin Mahrus. (Foto: Dok. DPR RI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Senayan meminta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi direvisi. Terutama pasal yang dinilai terlalu kebarat-baratan.

Anggota Komisi X DPR An’im Falachuddin Mahrus mengatakan, aturan yang dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim itu menunjukkan Kementerian Dikbudristek menjadi garda terdepan untuk revolusi mental. Namun, beberapa pasal tidak cocok dengan budaya timur.

“Catatan yang perlu direvisi di sini, ada kata-kata tanpa persetujuan korban. Saya kira kata-kata persetujuan korban ini sangat-sangat berbau barat,” tegas An’im di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.

Baca juga : PBNU Minta Ada Penyempurnaan Permendikbud Tentang Kekerasan Seksual

Pria yang akrab disapa Gus An’im ini mengatakan, di belahan dunia barat, frasa ‘persetujuan’ ini memang masuk ke ranah pribadi. Padahal masalah ‘persetujuan korban’ ini tak hanya pribadi orang per orang saja, tapi juga mengikut kepada orang tua hingga keluarga. Begitu juga halnya pelecehan, bukan hanya individu saja sebagai korban saja, tapi juga keuarga besar.

“Mungkin di daerah Papua itu tidak hanya sekadar korban saja yang mendapatkan nama jelek, marga juga menjadi korban. Sehingga ketika ada yang salah satu dilecehkan, itu yang bergerak marganya. Di tempat-tempat lain pun seperti itu,” kata politisi Fraksi PKB ini

Karena itu, frasa mengenai ‘tanpa persetujuan korban’ di dalam permendikbud tidak boleh begitu saja ditelan mentah-mentah. Sebab frasa ini lebih ke arah budaya barat, bukan budaya timur apalagi di Indonesia yang mayoritas muslim. Karena itu, dia berharap agar frasa ‘persetujuan korban’ ini sebaiknya direvisi dan dihapus dalam permen tersebut.

Baca juga : Bertahan Di Era Pandemi, Garuda Banjir Dukungan

Dia menyarankan frasa tersebut sebaiknya diserahkan ke dalam undang-undang yang berlaku. Walau undang-undang tentang kekerasan seksual ini sebenarnya masih merupakan warisan Belanda. Sebab di undang-undang KUHP saja, kekerasan seksual masih masuk dalam delik aduan.

“Kata ‘tanpa persetujuan korban’ ini kan artinya kalau korban setuju artinya seolah-olah peraturan ini melegalkan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Saya kira ini agar segera ada revisi. Itu permintaan kami,” tambah politisi asal jawa Timur ini.

Hal senada dilontarkan Anggota Komisi X Djohar Arifin. Djohar bilang, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengagetkan publik. Apalagi, sejumlah organisasi masyarakat menilai uji publiknya sangat dibatasi. “Disuruh datang (uji publik) tapi tidak bisa buka, tidak boleh foto. Tunggu pembesar datang baru boleh dibuka. Ini kan bukan uji publik. Ada sesuatu yang dilindungi,” katanya. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.