Dark/Light Mode

Bamsoet: Antisipasi Situasi Darurat, MPR Perlu Kembali Miliki Kewenangan Subjektif Superlatif

Kamis, 30 Maret 2023 14:35 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (tengah). (Foto: Dok. MPR)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (tengah). (Foto: Dok. MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, Indonesia perlu segera menyiapkan langkah-langkah antisipasi terjadinya situasi darurat konstitusi. Caranya, dengan mengembalikan kewenangan MPR menggunakan kewenangan subjektif superlatif sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan.

Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini mencontohkan, misalnya kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif). Atau kebuntuan politik antara Pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif)? Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK, padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, yaitu hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara.

“Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi ketika terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan Perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa," ujar Bamsoet, dalam Diskusi Empat Pilar 'PPHN Tanpa Amandemen' di Media Center Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3).

Baca juga : Ketua Bakohumas Apresiasi Komunikasi Publik Kementan Tangani Penyakit Hewan

Bamsoet juga mengingatkan tentang kekhawatiran yang pernah disampaikan ahli tata negara Profesor Yusril Ihza Mahendra tentang perlunya Indonesia memikirkan tata cara pengisian jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum atau Pemilu yang karena suatu kedaruratan penyelenggaraan Pemilu ditunda.

“Misalnya kedaruratan disebabkan gempa bumi megathrust di selatan Pulau Jawa, kerusuhan massal, maupun karena pandemi global yang terulang kembali, sehingga Pemilu harus ditunda,” jelas Bamsoet.

Dia menerangkan, Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur tentang penundaan Pemilu, yakni disebabkan karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Namun, tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu.

Baca juga : Bamsoet Ajak Dubes Jepang Kembangkan Sport Automotive Diplomatic

Tidak adanya ketentuan hukum tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu, lanjutnya, menjadi salah satu yang terlewatkan pada saat melakukan amandemen konstitusi yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Padahal, bisa saja suatu saat nanti bangsa Indonesia menghadapi kondisi force majeure yang luar biasa sehingga menyebabkan Pemilu tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan, termasuk kita juga tidak pernah membayangkan jika suatu ketika capres/cawapres hanya calon tunggal yang terpaksa berhadapan dengan kotak kosong dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: Pasangan Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Wakil Ketua DPR 2014-2019 Fahri Hamzah sependapat bahwa MPR perlu kembali diberikan kewenangan politik dari sekadar kewenangan seremonial seperti yang dimiliki sekarang. Mengaktivasi kembali tools yang dimiliki MPR berupa Ketetapan MPR sangat penting. Hal tersebut akan sangat efektif mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan. Jika intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik, maka yang melakukannya adalah sebuah lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya.

"Ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Konsitusi kita. Seperti pengaturan tentang anggaran pendidikan 20 persen, kemungkinan terjadinya perang, dan juga apabila presiden bersama DPR bersepakat untuk mengambil kebijakan yang dampaknya ekstrim bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Semua ini memerlukan instrumen intervensi yang levelnya bukan pada presiden atau DPR dan DPD, juga bukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi intervensi diperlukan pada level Majelis Permusyawaratan Rakyat," urai Fahri, di acara yang sama.

Baca juga : Bamsoet Apresiasi Pelaksanaan NTT Otomotif Festival 2023

Fahri menambahkan, dalam hirarki peraturan perundangan, TAP MPR memang berada pada posisi kedua di bawah UUD NRI 1945. Namun, berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai 2002.

"Artinya MPR tidak lagi bisa membuat ketetapan MPR karena ketetapan MPR produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarki peraturan perundangan. Maka, penjelasan Pasal 7 UU 12/2011 mutlak harus dihapus dengan revisi UU atau judicial review. Dengan demikian berbagai kebuntuan persoalan bangsa termasuk PPHN langsung bisa ditarik ke MPR dengan ditetapkan sebagai TAP MPR," tandas Fahri.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.