Dark/Light Mode

Sinergitas DPR Dan Pemerintah, Kunci Wujudkan Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 1 Juli 2023 13:06 WIB
Gedung MPR/DPR (Foto: Ist)
Gedung MPR/DPR (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejak Indonesia merdeka, relasi atau hubungan antara parlemen dan pemerintah mengalami pasang surut. Pada tahun 1960, tepatnya tanggal 5 Maret, Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Padahal, saat itu, DPR yang dihasilkan dari proses Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955.

Keputusan Soekarno membubarkan DPR lantaran Badan Konstituante dinilai telah gagal menetapkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Soekarno membubarkan DPR dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kala itu, DPR kehilangan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Sinergitas antara parlemen dan pemerintah pun tidak terjalin baik. Hanya satu arah.

Ketidakharmonisan antara pemerintah dan DPR masih terus terjadi. Berdasarkan sejarah yang diungkap oleh Zaini Muslim Ahmad dalam jurnal yang berjudul 'Sikap Politik Soekarno Terhadap Partai Masyumi 1957-1960', diulas konflik antara parlemen dan pemerintah.

Parlemen menentang keras Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah.

Partai Masyumi yang mempunyai banyak anggota dewan memboikot RAPBN. Ketika rezim berganti dari Soekarno ke Soeharto. Hubungan antara DPR dan pemerintah juga tidak terlalu baik.

Soeharto yang menggunakan tangan besinya membuat parlemen seperti tak berkutik. Hanya mengikuti keinginan pemerintah.

Saat orde baru, parlemen tak bertugas sebagai penyeimbang, justru menjadi kepanjangan tangan dari apa yang diinginkan oleh pemerintah. Lebih tepatnya hanya sebagai stempel saja.

Baca juga : Digitalisasi Pertanian Di Wonogiri, INDICO Kerek Kesejahteraan Petani

Sinergitas yang terjadi, lagi-lagi hanya sebatas slogan saja. Karena kuatnya pemerintah dan lemahnya parlemen, Presiden Soeharto bisa melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun.

Presiden Soeharto bisa tumbang, karena parlemen mulai mendapatkan kekuatannya berkat dorongan dari civil society seperti mahasiswa dan organisasi lainnya.

Kepemimpinan pun berganti ke tokoh sipil. Yakni BJ Habibie. Dengan pemikiran yang demokratis yang begitu kuat, Habibie membuat parlemen seperti hidup kembali. Bebas dan bisa menyuarakan kepentingannya masing-masing tanpa rasa takut.

Peralihan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi, membuat parlemen lebih bertaji. MPR yang menjadi lembaga tertinggi menolak pencalonan Habibie menjadi calon presiden karena dianggap orde baru.

Karena mendapatkan penolakan itu, akhirnya Habibie mundur dari pencalonannya. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mendapatkan dukungan penuh Ketua MPR, Amien Rais dengan mudah meraih posisi sebagai presiden.

Pada masa Gus Dur, sinergitas parlemen dan pemerintah berjalan cukup baik. Hal itu dibuktikan dengan bebasnya anggota dewan yang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.

Karena kerasnya kritikan parlemen ke pemerintah, Gus Dur pun membalas kritikan tersebut dengan mengatakan jika DPR itu seperti taman kanak-kakan. Label itu masih populer hingga kini.

Meski jabatannya sebagai presiden cukup singkat, tetapi, Gus Dur sudah membuat pondasi demokrasi lebih kuat dan bermakna.

Hubungan antara parlemen dan pemerintah kembali tak harmonis ketika Megawati Soekarno Putri menjadi presiden, menggantikan Gus Dur.

Baca juga : Kalangan Muda Generasi Z Dan Alfa Luncurkan Gen Perubahan

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo yang merupakan salah satu pelaku sejarah mengungkapkan, pada saat itu, Megawati lebih mengedepankan kekuasaan sentralistik dan tidak terlalu suka dengan kritikan.

“Pada waktu itu, Megawati sangat alergi kritik, lebih mengedepankan kekuasaan sentralistik. Makanya, muncul ketidakpuasan publik,” kata Firman ketika berbincang dengan RM.id.

Situasi menjadi jauh berbeda ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih dari proses demokrasi pemilu secara langsung pada tahun 2004.

Di awal kepemimpinannya, duet SBY-Jusuf Kalla menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Siapa pun berhak untuk menyuarakan kritikan dan masukannya kepada pemerintah, termasuk anggota DPR yang berasal dari oposisi.

Pada era SBY, sinergitas antara pemerintah dan parlemen benar-benar terjadi. Saling menguatkan dan terjadi check and balances.

Kata Firman, yang sudah duduk di MPR pada 1997, pada masa kepemimpinan SBY selama dua periode ini sistem demokrasi berjalan stabil karena parlemen bebas dalam menyuarakan kritikannya. Selain itu, di era SBY ini menjawab berbagai kebutuhan dari reformasi.

"Makanya, SBY bisa menjabat sebagai presiden selama dua periode," tuturnya.

Dapuk kepemimpinan kemudian beralih ke sosok Joko Widodo atau Jokowi. Berangkat dari kota Solo, Jokowi dengan kesan figur yang sederhana membuat wajah parlemen lebih berwarna.

Di periode pertama kepemimpinannya, Jokowi membuat sinergitas parlemen dan pemerintah lebih hidup.

Baca juga : Sah! Pemerintah Tambah 2 Hari Cuti Bersama Hari Raya Idul Adha

Hal itu terbukti dengan berbagai program dan capaian dari parlemen dan pemerintah berjalan dengan baik dan sukses.

Masyarakat pun merasakan betul manfaat dari terjalinnya sinergitas yang cukup baik itu. Program pro rakyat yang disuarakan oleh pemerintah dikawal oleh anggota DPR.

Pemerintah pun memberikan dukungan penuh untuk menyukseskan program parlemen. Berkat kerja sama yang baik itu, Indonesia yang diramal bakal menjadi negara yang gagal pun tak terjadi.

Angka inflasi yang sempat diprediksi bakal naik hingga dua digit, tidak terbukti. Hal ini berkat sinergitas yang kuat antara parlemen dan pemerintah.

Pandemi Covid-19 yang menyerang Indonesia, juga mampu diatasi dengan baik karena peran DPR yang mendukung penuh berbagai kebijakan pemerintah dalam mengantisipasinya.

Demi rakyat, DPR rela kehilangan fungsi anggarannya, karena pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona.

Sekarang, ekonomi masyarakat kembali menggeliat, daya beli masyarakat pun mulai menunjukan perbaikan. Akhirnya, sinergitas parlemen dan pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera bisa terealisasi dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Parlemen dan Pemerintah Ibarat Dua Sisi Mata Uang

Berdasarkan Pasal 20A Undang Undang Dasar (UUD) 1945, DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.