Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Ini Catatan Komite II DPD Soal RUU Cipta Kerja

Rabu, 29 April 2020 17:50 WIB
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai saat menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Konfederasi SPSI, Senin (27/4). Foto: Humas DPD
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai saat menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Konfederasi SPSI, Senin (27/4). Foto: Humas DPD

RM.id  Rakyat Merdeka -
Komite II DPD menemukan sejumlah catatan pada Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Berdasarkan sisi lingkup tugas Komite II DPD, ada beberapa permasalahan. Salah satunya, hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan daerah masing-masing.

Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai mengatakan, draft RUU Cipta Lapangan Kerja menyatakan mengembalikan kewenangan pengambilan keputusan atas pengelolaan kekayaan, mulai dari perizinan hingga pembinaan pada tingkat Pemerintah Pusat. 

Alhasil, pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak akan berwenang mengelola sumber daya ekonominya sendiri dan cenderung harus menunggu pendelegasian tugas dari pemerintah. 

Baca juga : DPD RI: RUU Cipta Kerja Terlalu Ribet

“Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah,” ucap Yorrys didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Abdullah Puteh, Wakil Ketua DPD Hasan Basri, dan Wakil Ketua Komite II DPD Bustami Zainudin saat rapat dengar pendapat umum secara virtual dengan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Senin (27/04).
 
Senator asal Papua itu menambahkan standar upah minimum pekerja menggunakan standar provinsi (UMP) menjadi catatan Komite II DPD. Dalam aturan sebelumnya, pada PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan diatur bahwa standar yang digunakan menggunakan standar kabupaten/kota (UMK). 

Upah minimum yang berpatokan pada UMP hanya akan menguntungkan kelompok pekerja di daerah tertentu saja, misalnya pekerja yang bekerja di DKI Jakarta. “Di daerah lainnya, pekerja akan dirugikan karena UMP di berbagai daerah provinsi lebih rendah dibandingkan standar UMK,” tuturnya.

Yorrys juga menyoroti dihapusnya ketentuan upah minum sektoral kabupaten dan sektoral kabupaten (UMSK). Dihapusnya UMSK sangat merugikan pekerja, UMPK dibagi berdasarkan sektoral karena upah antar sektor berbeda sesuai dengan beban kerja yang bervariasi. “Tentu saja, beban kerja sektor manufaktur berbeda dengan beban kerja sektor jasa,” terangnnya.

Baca juga : Sudah Pas Keputusan Menunda Pembahasan RUU Cipta Kerja

Aturan pembayaran upah berdasarkan jam kerja juga menjadi catatan Komite II DPD RI. Pengusaha dapat membayar pekerja berdasarkan jam kerja jika pekerja tersebut bekerja kurang dari 40 jam. Hal tersebut akan menjadi peluang bagi pengusaha untuk membayar pekerja lebih murah dari seharusnya. 

“Pengusaha dapat mencari celah untuk mengalihkan pembayaran bulanan menjadi pembayaran per jam, misalnya hanya memperkerjakan pekerja dalam empat hari saja. Sehingga, mekanisme pembayaran berdasarkan jam kerja cenderung akan dipilih oleh para pengusaha,” kata Yorrys. [KRS]


 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.