Dark/Light Mode

Pertemuan Parpol Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Jadi Teladan Demokrasi

Selasa, 10 Januari 2023 06:15 WIB
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini/Istimewa
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini/Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Delapan partai politik menggelar konsolidasi terkait pernyataan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup, menjadi teladan bagi demokrasi. Konsolidasi ini diinisiasi oleh Partai Golkar bersama Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP dan PKS.

Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, pertemuan tersebut contoh baik bagi pemilih menjelang Pemilu 2024.

“Itu pesan bagi publik juga ya, dinamika pemilu adalah dinamika yang sangat lentur. Masyarakat jangan sampai  mengalami polarisasi yang membelah persatuan dan kesatuan. Ternyata, di antara partai politik pun, meski mereka memiliki beragam pilihan, bisa ditemukan oleh persamaan dalam proses pelaksanaan pemilu,” tegas Titi Anggraini, Senin (9/1).

Di situ menjadi pembelajaran bagi rakyat bahwa dalam perbedaan sekalipun, tetap ada persamaan yang membuat dinamika politik di tengah perbedaan bisa tetap menemukan kesamaan.

“Kita juga begitu, meski pilihan politik berbeda dalam banyak dimensi, kita akan bisa menemukan kesamaan,” jelas Titi lagi.

Dia menegaskan, pemilu itu harus dihadapi dengan logika dan memiliki program.

Ternyata, di antara pilihan politik yang berbeda, partai dipertemukan karena adanya gagasan yang sama soal pemilu proporsional terbuka.

Baca juga : Cak Imin: PKB Tegas Tolak Pemilu Sistem Proporsional Tertutup

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan, delapan parpol duduk bersama, rembukan.

“Perlu silaturahmi antarpartai politik. Kita ingin di tahun 2023, tahun politik ini teduh. Nah, keteduhan akan tercipta jika ada komunikasi antarpartai politik,” katanya.

Menurut Airlangga, walaupun berbeda-berbeda prioritas dan agendanya, tetapi ada kesamaan. Nah, kesamaaan ini yang dicari terutama menghadapi Pemilu 2024.

"Sistem pemilu proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur," kata Airlangga. 

Jauh Dari Rakyat

Analis politik Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan adanya kelemahan dan kelebihan dari sistem proporsional tertutup. Kelemahannya, pertama, sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.

Calon legislatif (caleg) yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung. Sebab, caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partai bukan konstituen.

Baca juga : Minus Banteng, Petinggi Parpol Ngumpul Di Dharmawangsa, Tolak Sistem Proporsional Tertutup

"Sumber kekuasaan bukan daulat 'rakyat', tapi daulat 'elite' parpol," terangnya.

Selain itu, sistem proporsional tertutup juga cenderung membuat caleg tidak mau bekerja keras mengkampanyekan dirinya dan partai.

"Sebab, mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu. Bukan basis suara terbanyak. Itu artinya, menurunkan persaingan antarkader internal caleg," tambahnya.

CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting itu menambahkan, sistem proporsional tertutup cenderung kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.

Sistem itu juga belum cocok untuk partai populis yang belum kuat dan belum tumbuh merata sistem kaderisasinya. Selain itu, akan membuat penguatan oligarki di internal partai politik, dan memungkinkan pengutamaan kelompok dan golongan tertentu.

"Proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung. Pemilih banyak nggak kenal dengan daftar nama calegnya. Pemilih tidak merasa dekat dengan yang dipilihnya," ungkapnya.

Kendati demikian, Pangi menilai munculnya keinginan kembali ke desain sistem pemilu proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka.

Baca juga : Pemilu 2024 Pakai Sistem Proporsional Terbuka, Titik!

Menurutnya, kompleksitas dan realitas sistem pemilu proporsional terbuka cenderung terkesan melemahkan partai politik.

Menurutnya, sistem proportional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik. Sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik.

Menurut Pangi, ada beberapa alasan terkait sistem pemilu proporsional terbuka mampu merusak partai politik. Sistem itu bisa melemahkan partai politik ketika tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan  visi dan misi yang telah disusun partai.

"Masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri. Bagaimana berpikir menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain," tegasnya.

Sistem proporsional terbuka juga cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai, serta lebih mengandalkan figur untuk menguatkan sistem kepartaian.

Sistem itu diduga menyebabkan salah satu alasan rendahnya party-ID. Hanya 13,2 persen pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya,

"Dugaan saya, salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, selama itu persentase party-ID di Indonesia tetap rendah," pungkasnya.â– 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.