Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Golkar: Sistem Proporsional Tertutup Bikin Orang Malas Jadi Caleg

Rabu, 8 Maret 2023 20:10 WIB
Kuasa Hukum Golkar Heru Widodo saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian materiil Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (8/3). (Foto: YouTube)
Kuasa Hukum Golkar Heru Widodo saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian materiil Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (8/3). (Foto: YouTube)

RM.id  Rakyat Merdeka - Partai Golkar menegaskan, pihaknya keberatan dengan gagasan pembatalan sistem proporsional terbuka. Sebagaimana diajukan PDIP, dalam permohonan uji materil Pasal 168 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Lewat Kuasa Hukum Heru Widodo, Golkar yang dalam hal ini diwakili Derek Loupatty, Achmad Taufan Soedirjo, dan Marthinus Anton Werimon menjelaskan alasan penolakan tersebut.

Pertama, sistem pemilu yang saat ini berlaku, lahir sebagai produk lintasan sejarah yang cukup panjang. Merefleksikan evaluasi atas "trauma" penerapan sistem pemilu di masa lalu.

"Selain itu, sistem proporsional terbuka juga merupakan hasil transisi atas reformasi pada tahun 1998," ujar Heru saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian materiil Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/3).

Kedua, sebagai sebuah sistem, baik itu proporsional terbuka maupun tertutup, mempunyai plus dan minus yang saling menegasikan.

Heru menjelaskan, pilihan terhadap sistem proporsional terbuka, tidak lain karena menegasikan berlakunya sistem proporsional tertutup yang mengandung kelemahan-kelemahan.

Baca juga : Yusril: Sistem Proporsional Terbuka Bertentangan Dengan UUD 1945

Seperti mengunci rapat kanal partisipasi publik yang lebih besar, serta menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat. Sehingga sering kali, pasca pemilu, menjadi rentetan akumulasi kekecewaan publik.

Kelemahan lainnya, komunikasi politik menjadi tidak berjalan. Kesempatan calon terpilih menjadi lebih tidak adil.

"Sistem proporsional tertutup juga bisa memunculkan krisis calon anggota legislatif yang tidak bisa dielakkan. Karena siapa yang akan terpilih, sudah bisa diprediksi. Akibatnya, sedikit yang berminat dan/atau serius mau menjadi caleg," beber Heru.

Partai berkuasa penuh, menjadi penentu siapa-siapa yang duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.

"Membatalkan ketentuan proporsional terbuka, dan memberlakukan proporsional tertutup yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut, sama saja memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya. Pilihan ini juga mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih, berdasarkan jumlah suara terbanyak," terang Heru.

Menurutnya, pilihan proporsional terbuka yang menegasikan keberlakuan proporsional tertutup pada pemilu-pemilu sebelumnya, tidak bertentangan dengan pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Baca juga : Polemik Sistem Pemilu Bikin Parpol Deg-degan

Dia bilang, ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik", tidak bisa dimaknai sempit sebagai satu-satunya pilihan sistem yang konstitusional ialah proporsional tertutup.

Karena pasal tersebut sejatinya memberikan pembatasan pada pengusungan calon pada pemilu anggota DPR dan DPRD, yang hanya bisa dilakukan oleh partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Tanpa memberi ruang bagi hadirnya calon dari organisasi kemasyarakatan.

Akan muncul liberalisme politik atau persaingan bebas, dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.

"Mestinya, kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik. Bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945," jelas Heru.

PDIP sebagai pemohon uji materil Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, merasa dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih, berdasarkan suara terbanyak. Karena telah menjadikan Pemilu menjadi berbiaya sangat mahal, dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Pemohon menilai, sistem proporsional terbuka menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat. Karena caleg terdorong melakukan kecurangan. Termasuk, dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan, dapat mereduksi praktik politik uang. Pemilu menjadi lebih bersih, jujur, dan adil.

Baca juga : Hari Peduli Sampah Nasional, BNI Beri Bantuan Peralatan Pos Pandai

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, juga berbiaya tinggi. Sehingga, memakan biaya yang mahal dari APBN. Karena harus membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat. ■

 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.