Dark/Light Mode

Pendiri Perludem: Tak Ada Yang Murni Terapkan Sistem Presidensial Atau Parlementer

Kamis, 22 April 2021 21:52 WIB
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga pendiri Perludem Didik Supriyanto dalam dalam diskusi Presidensial vs Parlementer yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rabu (21/4). (Foto: Ist)
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga pendiri Perludem Didik Supriyanto dalam dalam diskusi Presidensial vs Parlementer yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rabu (21/4). (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Didik Supriyanto mengatakan, tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem presidensial atau pun sistem parlementer secara murni.

"Setelah Uni Soviet jatuh, karakter parlementer atau presidensial itu kan sudah banyak berubah. Sehingga, di kalangan akademisi muncul istilah presidensialisasi sistem parlementer dan parlementarisasi sistem presidensial," kata dia saat menjadi pembicara dalam diskusi online bertema Presidensial vs Parlementer yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rabu (21/4).

Didik menerangkan, presidensialisasi sistem parlementer terjadi di beberapa negara di Eropa. Salah satu modifikasi dari sistem ini adalah pengetatan mosi tidak percaya kepada kabinet. "Dulu, begitu mayoritas parlemen tidak setuju dengan kabinet, ya sudah dijatuhkan melalui mosi tidak percaya," tambah dia.

Dalam kasus ini, jika kabinet hendak dijatuhkan, maka oposisi harus menyiapkan pemerintahan baru terlebih dahulu, termasuk menunjuk perdana menteri baru yang akan menggantikan. Barulah kabinet bisa dijatuhkan. Apabila prasyarat itu tidak dipenuhi, oposisi tidak bisa menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet.

Baca juga : PSI Ajak Publik Pikir Ulang Sistem Parlementer

Kedua, tambah Didik, ciri dari presidensialisasi sistem parlementer ini adalah pengetatan pembubaran parlemen, menjurus ke masa kerja parlemen yang tetap (fixed term). Corak ketiga dari sistem ini adalah, persetujuan resmi atas pembentukan kabinet.

Terakhir, menurut Didik, modifikasi sistem ini membuat adanya upaya penguatan tanggung jawab kolektif atau yang disebut dengan ministerial code atau cabinet manual. Inovasi konstitusi yang menyebabkan modifikasi sistem pemerintahan itu, ujar Didik, diikuti juga oleh inovasi pemilu, yaitu menerapkan sistem pemilu campuran (MPP dan Paralel).

"Dengan sistem pemilu ini, ada kemungkinan 1 atau 2 partai menguasai 70 persen kursi, tetapi partai-partai kecil tetap punya peluang masuk ke parlemen," katanya.

Sementara konsep parlementarisasi sistem presidensial juga membawa konsekuensi politik, di antaranya adalah peningkatan fungsi kecaman parlemen, penghentian presiden melalu mekanisme declaration of incapacity, penghentian presiden melalui mekanisme impeachment, dan pembentukan koalisi partai politik pendukung presiden di parlemen.

Baca juga : 10 Menteri Ini Ada Potongan Jadi Capres Atau Cawapres

"Di sistem presidensial itu gak lazim ada koalisi, kenapa gak lazim? Contohnya Amerika Serikat, mereka gak kenal koalisi karena partainya cuma dua (pemilu mayoritarian). Tapi Amerika Latin, sejak tahun 1980-an itu mulai muncul koalisi, karena kalau tidak koalisi akan buntu dan bakal diambil alih militer," kata Didik, mencontohkan koalisi partai politik dalam parlementarisasi sistem presidensial.

Adapun modifikasi parlementarisasi sistem presidensial ini, akan berdampak pada inovasi Pemilu, yaitu penyelenggaraan Pemilu presiden dan parlemen secara serentak.

Terkait dengan wacana menerapkan lagi sistem parlementer, Didik mewanti-wanti. Baginya, dalam konteks Indonesia, tantangan berat dalam penerapan sistem parlementer adalah mencari simbol pemersatu bangsa, mengingat sistem itu akan melahirkan dua pemimpin penting negeri.

"Nah, presidensialisme yang menghasilkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia tidak hanya simbol, tapi dia punya kekuatan untuk menyatukan republik ini. Kalau parlementer, pertanyaannya adalah, siapa yang akan melakukan itu (sosok perekat bangsa)? Atau bagaimana cara kita memilih orang untuk itu? Kalau di Inggris kan ada Raja," ujar pendiri Perludem itu.

Baca juga : Antisipasi Pemudik Nekat, Polda Metro Jaya Siapkan 8 Titik Penyekatan

Selain Didik Supriyanto, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini, turut menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Ramlan Surbakti dan sejarawan Anhar Gonggong.

Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang  sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.

"Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang," kata Dea.

PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga. Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu. [MRA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.