Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Di Kalangan Pemilih Rasional

Jargon Dan Tagline Tak Laku

Senin, 2 November 2020 06:34 WIB
Di Kalangan Pemilih Rasional Jargon Dan Tagline Tak Laku

RM.id  Rakyat Merdeka - Pilkada Serentak bakal digelar 9 Desember 2020. Jargon, tagline, nama akronim dan diksi-diksi gencar disosialisasikan pasangan calon (paslon) di masa kampanye.

Kendati begitu, kampanye model ini belum tentu menarik simpati pemilih. DI Kota Medan, misalnya, paslon petahana Akhyar Nasution-Salman Alfarisi gencar berkampanye dengan nama akronim AMAN agar mudah diingat masyarakat.

AMAN merupakan akronim dari nama Akhyar dan Salman. Tidak jauh berbeda, di Pilkada Gubernur Kalimantan Selatan, paslon Sahbirin NoorMuhidin muncul dengan jargon Sahbirinmu.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, efektivitas jargon, tagline, nama akronim dan diksi sangat tergantung pada tingkat wawasan pemilih.

Baca juga : Jaga Kedaulatan Digital Nasional, Keberadaan OTT Global Harus Segera Diatur

“Semua itu sangat tergantung masyarakatnya. Mereka sudah berwawasan luas atau belum,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka.

Wawasan yang dimaksud Emrus adalah, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sebuah isu, tingkat literasi hingga tingkat interaksi masyarakat satu dengan masyarakat di daerah lain.

Di masyarakat dengan tingkat wawasan rendah, cara kampanye yang menonjolkan jargon, tagline, nama akronim atau diksi, bisa efektif dalam menarik simpati pemilih.

Pasalnya, masyarakat dengan wawasan rendah umumnya akan tergiur dengan permainan kata yang dibuat paslon. Sedangkan di masyarakat dengan tingkat wawasan tinggi, lanjut Emrus, jargon, tagline, nama akronim dan diksi tidak akan efektif.

Baca juga : Depok Perpanjang Pembatasan Jam Operasional Pusat Perbelanjaan

Sebab, para pemilih lebih memperhatikan program, visi, misi dan latar belakang kandidat. Meski jargon atau diksi yang dipakai para paslon di setiap pemilu sah-sah saja, asalkan memang mengedukasi masyarakat.

“Misalnya, dalam jargon atau diksi itu dipaparkan pula program paslon termasuk tolok ukurnya,” ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Max Rembang mengatakan, di era pendidikan semakin maju biasanya paslon lebih mudah diterima karena beberapa hal.

Di tataran pemilih rasional, paslon biasanya diterima karena visi dan misi. Penyebabnya, para pemilih biasanya memiliki latar belakang pendidikan tinggi.

Baca juga : Libur Panjang, 336 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jakarta

“Mereka bisa mengkritisi visi dan misi para paslon termasuk kinerja petahana. Dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mereka bisa bisa memilah mana yang baik dan benar,” ujarnya.

Sedangkan pemilih tradisional, rata-rata memilih paslon berdasarkan partai. Pemilih jenis ini tidak akan memusingkan siapa calon yang maju karena hanya memperhatikan calon tersebut dari partai mana.

Tapi, menurut Max, presentase tertinggi ada pada pemilih pragmatis. “Pemilih pragmatis ini biasanya melihat apa yang ditawarkan calon. Kalau sesuai dengan kepentinganya ya akan dipilih,” tandasnya. [SSL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.