Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman

Catat Ya, Ini Uji Klinis, Bukan Uji Nasionalisme

Senin, 19 April 2021 07:03 WIB
Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman (Foto:Istimewa)
Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman (Foto:Istimewa)

 Sebelumnya 
Ini uji klinis suatu produk kesehatan. Uji ilmiah. Jangan dibawa ke arah politik.

Saya kira, yang ada di situ kan sebagian besar juga tokoh masyarakat dan akademisi, yang bukan pemain politik atau lembaga politik. Makanya, untuk melihat ini, harus jernih. Harus merujuk aturannya.

Seperti apa sih aturannya?

Begini. Riset produk kesehatan itu harus mematuhi dan mengikuti suatu ethic research. Karena riset yang baik, perlu etik yang baik.

Etika riset ini diterapkan dalam rencana riset, proses, dan produk jadi. Karena itu secara universal dapat disebutkan, bad science terjadi karena bad ethic.

Baca juga : Kapan Swab Test Antigen Masuk Data Covid? Jangan Kelamaan

Literatur ilmiah untuk uji vaksin, kan sudah jelas. Ada kesepakatannya.

Apa saja itu, Pak?

Ada 4 kesepakatan etik. Pertama, respect. Implementasi aspek respect ini adalah adanya komunikasi yang baik, yang melibatkan individu, komunitas, masyarakat dunia ilmiah, dan regulator.

Dalam aspek respect, riset juga harus menyadari tentang adanya tradisi, concern, dan sensitivitas.

Sebagai akademisi, saya concern pada potensi manfaatnya. Feasible (layak, Red) nggak? Efektif dan efisien nggak nanti produknya? Ini harus dijelaskan.

Baca juga : Digital Tracing Kian Mendesak, Klinik Demam Harus Disegerakan

Sedangkan sensitivitas, itu terkait dengan aspek halal haram.

Kedua, benefisiensi atau manfaat. Manfaat yang dimaksud di sini, bukan semata soal efikasi akhir. Sebelum itu, secara rujukan ilmiah yang ada - baik praklinik atau uji praklinik atau uji fase I ditambah literatur-literatur yang ada - harus jelas seperti apa potensi efikasinya.

Bermanfaat tidak untuk relawan, untuk publik, dan bagaimana manfaatnya untuk mengatasi pandemi Covid kalau dikaitkan dengan kondisi saat ini.

Ketiga, non mal-efisiensi. Di sini, harus ada faktor protokol yang harus jelas. Guidance research-nya harus jelas. Termasuk, merespon atensi atau concern dari dunia kesehatan atau akademis.

Keempat, justice. Ini lebih pada manfaat riset, apabila kelak didistribusikan. Mencakup kepatuhan terhadap regulasi yang ada.

Baca juga : Perlu Pembatasan Lebih Besar Untuk Cegah Klaster Pilkada, Prokes 3M Saja Tak Cukup

Regulasi ini harus dipatuhi dari awal. Ada peraturan BPOM tentang uji klinik No.21 Tahun 2015.

Bagaimana dia bisa mengikuti regulasi, kalau rekomendasi dari BPOM tidak diikuti. Itu logika ilmiahnya kan nggak kena.

Kemudian, juga ada UU No.36 Tahun 2019 dan hal-hal lain yang terkait riset.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.