Dark/Light Mode

Belajar Mendengar

Kamis, 10 Oktober 2019 06:50 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Bagi sebagian orang, bukan matematika, fisika, atau ilmu-ilmu sosial yang menjadi pelajaran tersulit saat ini.

Tapi mendengarkan. Kalaupun ada yang mendengar, tapi tidak menyimak. Ada dialog menarik dalam film Joker, yang sekarang lagi ramai.

Joker mendatangi tenaga konseling untuk berkonsultasi mengenai masalah kesehatan mentalnya. Sekalian meminta resep.

“Apakah ada gunanya anda datang ke sini, meminta seseorang untuk diajak bicara?” tanya psikiater tersebut dengan wajah dingin.

Arthur Fleck yang maunya dipanggil sebagai Joker menjawab ketus, “Saya pikir, saya merasa lebih baik ketika saya dikurung di rumah sakit”.

Baca juga : Duh, OTT Lagi, Sampai Kapan?

Wow! Apakah bagi sebagaian orang, lebih baik dikurung di rumah sakit dari pada berbicara tapi tidak diperhatikan atau cuma pura-pura diperhatikan?

Itu mungkin bukan masalah Joker semata. Bisa jadi, itu masalah kita hari hari ini. Di DPR, dalam pembuatan Undang-Undang misalnya, apakah suara rakyat benar-benar sudah didengar?

Kalau sudah, oke. Bagus. Tapi kalau di kemudian hari ada perlawanan, ada penolakan, artinya ada sesuatu yang kurang beres. Bisa jadi, ada yang mampet. Ada saluran yang putus, seperti saluran air yang terhambat, lalu luber kemana mana. Atau ada suara yang sengaja dipelankan. Bisik-bisik.

“Biar kita saja yang tahu. Kalau mereka dengar, bisa kaco. Rencana kita bisa berantakan. Kalau pun nanti ada penolakan atau protes, itu urusan belakangan. Bisa kita atur”.

Apakah seperti itu? Semoga tidak. Politisi memang tugasnya ngomong. Menyuarakan sesuatu. Tapi, bukankah Yang Maha Pencipta menciptakan dua telinga dan satu mulut supaya manusia lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara?

Baca juga : Semoga Tidak Ada Yang Kena OTT

Lebih dalam lagi, mendengarkan suara rakyat. Lebih dalam lagi, mendengarkan jeritan hati rakyat. Tingkatan wakil rakyat mestinya sudah sampai di level ini, yakni orang orang yang sudah bisa mendengarkan suara dan jeritan hati rakyat.

Bukan sekadar mendengarkan suara rakyat saat rapat dengar pendapat. Dan juga bukan mendengarkan jeritan hati nya sendiri. Bukan pula suara kelompoknya sendiri.

Kita berbicara mengenai DPR atau MPR karena para wakil rakyat 2019 2024 baru saja dilantik. Baru memulai kerjanya untuk lima tahun ke depan. Masih panjang. Banyak pekerjaan yang akan dilalui, termasuk rencana mengamandemen UUD.

Pelajaran di ujung waktu DPR periode 2014-2019 yang didemo mahasiswa di banyak daerah, mestinya jadi pelajaran berharga. Ini warning. Alarm penting. Tidak boleh terulang.

Bahwa DPR punya wewenang, iya. Tapi persoalan bangsa tak bisa di bi carakan dan diputuskan sepihak. Apa lagi kalau “semau gue”. Dengarlah suara rakyat.

Baca juga : Seperti Catur

Walaupun DPR “sangat pandai berbicara” dengan dalih-dalih terbaik, tapi rakyat tidak menilainya dari seberapa pintar Anda bicara, tapi seberapa banyak kebenaran yang di suarakan, seberapa banyak janji yang di wujudkan, seberapa baik tindakan dan integritas yang ditampilkan.

Sekali lagi: ini soal bukti. Wujud nyata. Semoga DPR yang baru, lebih baik dibanding yang sebelum-sebelumnya. Seperti janji pimpinan yang baru bahwa DPR tidak akan sekadar jadi tukang stempel pemerintah.

Jadilah stempel rakyat. Dengarlah dan rasakan jeritan hati rakyat. Bukan malah membuat rakyat menjerit karena hatinya terluka. Biarlah citra itu hanya untuk pemerintah di wilayah Gotham City. Bukan DPR kita. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.