Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Sidang Jari

Minggu, 13 Januari 2019 06:43 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Jari-jari pun ikut politik. Pose satu jari, dianggap pro Jokowi. Dua jari dituding Prabowo. Sekarang ada lagi, nomor tiga, yang diam-diam mengkampanyekan Golput. Posenya mungkin 3 jari.

Kalau bisa protes, jari-jari pasti akan protes karena telah dipolitisasi. Politisasi tiap lima tahun sekali atau setiap pilkada. Jari-jari merasa mereka telah diadu domba.Jari-jari ini heran, kenapa manusia yang berpolitik miskin substansi. Mereka sangat sibuk soal jari. Ribut soal tampang Boyolali, politik sontoloyo atau genderuwo. Saling serang, saling lapor. Tak ada hentinya. Ribut terus.

Setelah ribut-ribut, jari akhirnya menjadi tersangka. Diseret ke persidangan Disidang di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Terlapornya: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies mengacungkan dua jadi di acara Gerindra.

Baca juga : Senyum Dildo

Jumat (11/1) lalu, Bawaslu menyatakan tidak ada unsur pidana terhadap dua jari Anies. Laporan tersebut dihentikan. Anies lolos. Kubu Prabowo tak mau kalah. Mereka membalas dengan mengungkit beberapa kepala daerah yang mengacungkan satu jari. Salam satu jari yang diacungkan Menteri Sri Mulani dan Luhut Panjaitan di acara IMF, di Bali, juga diungkit-ungkit.

Alkisah, ulah manusia ini justru ditertawai para jari. Karena, ribut-ribut, saling serang, ingin menang sendiri, menyalahkan pihak lain, mengedepankan ego; sudah dilewati para jari jutaan tahun yang lalu. “Bawaslu” sudah pernah menyidangkan ini. Itu kisah masa lalu. Primitif. Menurut para jari.

Dulu, dalam “persidangan”, jempol merasa paling hebat. Meski pendek, gempal, tapi baik-buruk, bagus-tidaknya hasil karya, dia yang menentukan. Mau jempol ke batas atau ke bawah, terserah dia. Dia juga diangkat sebagai ibu jari.

Baca juga : Melepas Lelah Di Senayan

Telunjuk tak mau kalah. “Sayalah yang berkuasa. Perintah apa pun pasti menggunakan telunjuk. Bukan jari lain, apalagi jari tengah”.
Jari tengah yang merasa tersinggung. “Sayalah yang paling tinggi. Saya berkuasa. Saya membawahi kalian semua. Saya mau melakukan apa saja, terserah. Mau menginjak-injak kalian, bisa! Memukul kalian sampai babak belur bisa!”.

Jari manis membela diri. Dia merasa yang paling cantik. Paling manis. “Manusia kalau menikah, memasang cincin kawinnya yang mahal itu di jari manis, bukan di kelingking”.

Kelingking bersedih. Tapi “hakim Bawaslu” sangat bijak. “Kelingking, kau jangan bersedih,” kata hakim. “Empat jari itu, tidak akan bisa melakukan sesuatu dengan sempurna tanpa kelingking”.

Baca juga : “Populis Kanan”

Hakim yang menyidangkan para itu kemudian memutuskan: Tidak ada yang lebih baik satu sama lain. Kalian harus bersatu. Kerjasamalah. Jangan merasa paling hebat, paling berkuasa sehingga merendahkan yang lain.
Bisa dimaklumi kalau jari-jari itu, sekarang, menertawakan ulah manusia.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.