Dark/Light Mode

Kata-Kata Dan Perut

Kamis, 20 Desember 2018 09:45 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketika yang satu bilang punah, yang lain menyahut: pesimis! Nakut-nakuti! Ketika yang satu mengatakan sontoloyo, yang lainnya berseru: tak memberi contoh yang baik. Tak pantas. Rakyat menyambut kata-kata itu dengan bermacam tafsiran. Ada yang benci. Ada yang tambah cinta. Ada yang goyang keyakinannya. Ada yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit pula yang bingung.

Yang satu ingin menanamkan benih positif, yang lain ingin menancapkan sisi negatif. Belum jelas, berhasil atau tidak. Kata-kata itu menambah cinta atau benci, itu urusan nanti. Di tahun politik, kata-kata, manis maupun pahit, kasar atau halus, menyerbu sampai ke pelosok kampung.

Menembus sampai ke kamar-kamar tidur. Dari bangun pagi, buka hape, sampai tidur lagi, bangun lagi, sampai hape lowbat, kata-kata tak pernah berhenti diproduksi. Menembus otak. Menanam benci dan cinta. Sampai berkarat. Pabrik kata-kata terus berputar. Mungkin di tengah malam. Pagi atau siang. Di tempat yang jauh atau dekat. Oleh mesin atau manusia.

Baca juga : (K)Otak Kardus

Kata-kata itu didiskusikan sampai dini hari. Dirancang strategi peluncurannya. Kapan peluncuran perdananya. Siapa yang menyambut pertama kali. Bagaimana mengantisipasi reaksi kawan dan lawan. Dan sebagainya.

Kata-kata kemudian diluncurkan pagi hari. Berkembang biak di siang hari. Matang di sore hari. Ada yang tumbuh jadi putih. Hitam. Atau abu-abu. Dia dibawa sampai ke tempat tidur. Beranak pinak, bebuyutan.

Di tahun politik, ketika kata-kata disemburkan ke udara, ada yang menyambutnya riang. Sedih. Marah. Waswas. Panik. Ragu. Goyah. Tak mengerti. Di tengah hiruk pikuk lalu lintas kata-kata itu, tak sedikit yang menyambutnya dengan diam. Kenapa? Takut? Mungkin. Bingung? Atau tak mengerti? Mungkin. Capek? Mungkin juga.

Baca juga : Dewa Janji

Masa bodoh? Bisa jadi. Yang bahaya, ketika gelombang kata-kata itu berubah menjadi polutan yang disambut diam. Diam tak bergerak. Kenapa diam? Tak mendengar? Bukan.

Tak peduli? Bukan. Karena apa? Lapar! Ya, lapar. Ketika perut kosong, kata-kata paling gurih, segar dan manis pun, tak bisa mengenyangkan. Tak menghilangkan dahaga. Dia justru menjadi benih “diabetes sosial” kalau kebanyakan dijejali janji dan kata-kata manis.

Memang, kata-kata bisa membangkitkan semangat. Membakar emosi. Menyalakan elan. Tapi, kalau tahun politik melahirkan erosi dan degradasi kata-kata, seberapa banyak yang bisa melakukan itu? Untuk bangsa. Bukan hanya untuk kelompoknya.

Baca juga : Rompi Kuning, Bendera Putih

Meski berhamburan kemana-mana, sayangnya, kata-kata tak pernah mampir ke perut. Karena, kata-kata terindah sekali pun tak bisa menggantikan beras atau gula. Bahkan, kata-kata wangi pun tak bisa menggantikan ikan teri yang amisnya tak bisa hilang. Atau, sayur bayam yang mulai layu sekalipun. Dia tak bisa. Karena, kata-kata itu tak pernah mampir ke perut.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.