Dark/Light Mode

Djoktjan, Kucing dan Tikus

Selasa, 4 Agustus 2020 05:01 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam drama penangkapan Djoko Tjandra, Komjen Listyo Sigit Prabowo pantas mendapat nilai tinggi. Karena itu, wajar kalau dia masuk daftar calon potensial untuk menduduki kursi Kapolri.

Selain Listyo, setidaknya ada 7 atau 8 lagi kandidat calon lainnya. Semuanya oke. Yang membedakan, Komjen Listyo “kebetulan” punya momentum yang tepat: kasus Djoko Tjandra. Dan, dia melakukannya dengan baik. Walau, Komjen Listyo juga memiliki faktor “non teknis” seperti ketika beberapa ulama di Banten sempat menolaknya ketika dia diangkat sebagai Kapolda Banten pada 2016.

Dalam kasus Djoko Tjandra (Djoktjan), kalau posisi Kabareskrim ditempati yang lain, kemungkinannya tiga. Bisa lebih baik, sama saja atau lebih buruk. Lebih buruk, misalnya menutup-nutupi kesalahan rekannya untuk menjaga citra korps.

Bisa juga lebih baik. Misalnya, bukan hanya menangkap Djoko Tjandra, tapi juga beberapa buronan lainnya.

Baca juga : Awas Pendompleng Dana Covid!

Tentu saja, apa yang dilakukan Bareskrim di bawah Komjen Listyo tidak lepas dari Kapolri Jenderal Idham Azis. Hanya saja, Jenderal Idham Azis terkesan “menyingkir” dulu. Biar anak buah yang maju. “Lebih mengedepankan anak buah”, dan “tidak ingin terlihat” juga bagian dari karakter positif dan prestasi.

Prestasi dan karakter ini pula yang bisa saja mengantar Jenderal Idham ke perpanjangan masa jabatan Kapolri setahun atau dua tahun lagi. Jenderal Idham akan pensiun Januari 2021.

Sekarang, kita lepaskan dulu kasus Djoktjan dan bursa calon Kapolri. Kita lihat sisi lain. Dari sisi standar prestasi.

Pertanyaannya, kenapa kasus ini menjadi “eye catching”? Karena selama ini, masyarakat sangat merindukan perbaikan signifikan di sektor penegakan hukum. Sangat rindu. Sudah lama sekali. Maka, ketika ada kasus Djoktjan, langsung mencuat, apalagi kasusnya didahului drama memilukan dalam penegakan hukum. Banyak korban pula.

Baca juga : Kalau Saja…

Sekali lagi, bahwa ini prestasi, iya. Tapi, keberhasilan ini masih bisa dioptimalkan.

Ibaratnya, Timnas Indonesia berhasil membobol gawang Brasil sebanyak 3 gol. Tapi, sebelumnya, kita kebobolan 9 gol. Skornya masih 3-9. Karena, kasus Djoko Tjandra adalah kebobolan dan penistaan luar biasa. Aib besar. Sangat memalukan.

Menjadi luar biasa kalau Polri, misalnya, atau lembaga mana pun, dalam 3-4 bulan ini bisa menangkap 3-4 buronan kakap lainnya yang selama ini dicari-cari. Kalau itu bisa dilakukan, skornya bisa 12-9. Menang telak. Nah, ini menjadi tantangan menarik.

Di sisi lain, ada juga yang kurang oke. Karena, ada kesan, hanya Polri yang menggigit. Menggebrak. Dalam kasus ini. Polri bisa menindak siapa pun yang diduga terlibat. Tak peduli teman sendiri. Sementara penegak hukum lain, speednya terkesan masih standar-standar saja.

Baca juga : Terima Kasih Joker

Kita sebagai rakyat tetap setia menunggu gebrakan-gebrakan itu. Dari semua lembaga. Mana pun. Kapan pun. Sama seperti prinsip klasik seorang pemimpin China: tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Bukan sebaliknya, tikus yang “menangkap” kucing.(*)
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.