Dark/Light Mode
- Menkes: Kesehatan Salah Satu Modal Utama Capai Target Indonesia Emas 2045
- Jangan Sampai Kehabisan, Tiket Proliga Bisa Dibeli di PLN Mobile
- Temui Cak Imin, Prabowo Ingin Terus Bekerjasama Dengan PKB
- Jaga Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 25 Bps Jadi 6,25 Persen
- Buntut Pungli Rutan, KPK Pecat 66 Pegawainya
RM.id Rakyat Merdeka - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya dengan satu kata: Infodemik. Ini sama berbahayanya dengan Covid-19 itu sendiri. Bisa melumpuhkan respons masyarakat terhadap Covid-19. Bisa membunuh juga.
Gelombang hoaks, rumor, informasi keliru serta disinformasi yang menyebar luas secara cepat ke seluruh dunia adalah infodemik berbahaya. Infodemik juga bisa menimbulkan kebingungan baru di masyarakat. Bahkan, menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap otoritas resmi. Bisa memberi harapan palsu. Bisa menyulitkan identifikasi solusi.
Di Indonesia, infodemik bahkan bisa mengadu domba. Misalnya, rumor tertentu tentang rumah sakit atau dokter, bisa membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dan curiga terhadap tenaga kesehatan dan rumah sakit.
Baca juga : Djoktjan, Kucing dan Tikus
Akibatnya, ada perebutan jenazah, kubur digali lagi, pihak keluarga yang tidak percaya keluarganya meninggal karena Covid. Juga ada harapan-harapan (yang belum pasti, cenderung palsu) tentang obat Covid seperti yang sekarang sedang heboh.
Unsur politik juga bisa merusak respons terhadap Covid-19. Dalam iklim yang sangat terpolarisasi dan terpolitisasi seperti di Indonesia, banyak orang yang langsung tidak mempercayai saran atau bukti yang berasal dari “kubu” lawan.
Contoh, sebuah lembaga pemantau Covid-19 yang awalnya terpercaya, tiba-tiba tidak dipercaya hanya karena organisasi tersebut dicurigai terpapar salah satu kubu dalam Pilpres 2019 lalu. Akibatnya, data-data Covid yang dirilis organisasi itu, yang sebenarnya bermanfaat, langsung dicibir.
Baca juga : Awas Pendompleng Dana Covid!
Di tengah daya kritis yang memudar, orang kemudian hanya ingin mendengar atau membaca apa yang ingin dia dengar atau baca. Info dianggap sahih kalau berasal dari kubunya saja. Dari kubu lain, salah semua, dituduh punya motif tertentu. Celakanya, ini masalah kesehatan. Bukan politik.
Apa yang kemudian bisa dilakukan? Hilangkan sekat, buang kacamata politik. Keterfbelahan ini memang tanggungjawab para elite politik yang “berhasil” memilah Indonesia menjadi dua kubu ekstrem. Tapi, publik mestinya bisa membedakan, mana yang perlu disikapi secara politis, mana yang tidak.
Selain itu, pemerintah perlu membuat dan menyampaikan info yang mudah dipahami. Membumi. Laporan harian dari Satgas Covid-19 misalnya, tampaknya mulai membosankan. Tak lagi diperhatikan. Perlu dicari pola baru yang lebih menarik dan gampang dicerna. Tutup celah infodemik.
Untuk menangkal infodemik, WHO telah meluncurkan situs baru: EPI-WIN atau WHO Network for Information in Epidemics. Indonesia tampaknya juga sudah. Tapi kenapa ini tidak terlalu dilirik?
Kenapa seniman, artis serta para influencer yang pengikutnya bisa sampai puluhan juta, justru menjadi rujukan? Apakah mereka menjadi sumber baru yang bisa didengar dan dipercaya? Hati-hati, infodemik tengah mengancam kita.(*)
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.