Dark/Light Mode

Berebut Pasar

Selasa, 27 November 2018 07:29 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Para pedagang di pasar tradisional punya rutinitas baru: menyambut politisi. Ada yang datang lalu megang-megang tempe, bertopi pete, megang-megang buah dan sayuran, nawar-nawar ikan. Nanya-nanya. Macam-macam. Semuanya menarik untuk difoto.

Yang satu berusaha membuktikan bahwa harga-harga melambung tinggi, mahal, daya beli menurun, pembeli dan pedagang dirugikan. Intinya, ada persoalan ekonomi yang menimpa bangsa ini. Karena itu, perlu pemimpin baru yang akan membereskannya. Yang lainnya meng-counter. Membuktikan bahwa itu tidak benar.

Baca juga : KPK, Guru Geografi

Bohong. Karena, faktanya, harga-harga stabil. Terkendali. Uang 50 ribu masih bisa membeli banyak kebutuhan pokok. Apalagi uang seratus ribu. Pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk menstabilkan harga. Rakyat masih nyaman-nyaman saja. No problem. Pasar memang menarik. Tempat orang berkumpul dari segala lapisan.Semua barang, ada. Pasar menjadi simbol ekonomi kerakyatan. Indikator denyut nadi ekonomi rakyat. Pasar adalah cerminan. Belakangan, lahirlah pasar politik. Meriah. Semua berebut.

Bagi masyarakat Indonesia, pasar menjadi cermin harian. Bahkan ada nama-namanya. Di Jakarta, misalnya, ada Pasar Senin sampai Pasar Minggu. Istilah terkait pasar juga banyak. Mulai dari pasar kaget, pasar amal, pasar gelap, pasar malam, pasar bebas, pasar uang, pasar swalayan, pasar induk, pasar tradisional sampai pasar modern. Di pasar inilah, para politisi ingin merebut pemilih. Mereka membuka pasar baru: pasar janji-janji. Namun, komunitas di pasar juga bisa menilai para kandidat tersebut. Siapa yang memberi harapan, siapa yang tulus dan tidak tulus, siapa yang benar-benar ingin membangkitkan ekonomi kerakyatan.

Baca juga : “Rekor Baru” Untuk Marcos

Kata pengusaha muda dan penulis Amerika, Aaron Levie, “Anda [u1] [u2] [u3] akan mendapat pelajaran lebih banyak ketika Anda bertemu dan berbicara sehari saja dengan pembeli atau pelanggan Anda daripada rapat bertukar pikiran selama seminggu, mengamati saingan Anda selama sebulan, atau meriset pasar selama setahun.” 

Alkisah, pada suatu hari, ada seorang politisi berkunjung ke pasar. Kampanye. Dia berhenti di depan penjual jeruk.

  • “Berapa sekilo,” tanya politisi itu.
  • “Dua puluh ribu. Kalau tiga kilo lima puluh ribu,” jawab penjual jeruk.
  • “Manis enggak?”
  • “Pasti manis, Pak. Kalau enggak manis, Bapak enggak usah bayar.”
  • “Kalau gitu, minta yang enggak manis. Tiga kilo!” pinta si politisi.

Baca juga : Mahathir & “Sesuatu”

Pada hari pencoblosan, di bilik suara, penjual jeruk itu memilih politisi yang tidak pernah ke pasar.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.