BREAKING NEWS
 

Penganten Dalam Politik Itu, 90 Persen Kawin Paksa…

Reporter : BAMBANG TRISMAWAN
Editor : MUHAMAD FIKY
Selasa, 4 Oktober 2022 09:19 WIB
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil

RM.id  Rakyat Merdeka - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil memberikan jawaban tegas soal kesiapannya menjadi capres atau cawapres di Pilpres 2024.

Suami Ataliya Praratya yang kerap disapa Kang Emil ini, juga bicara soal kedekatannya dengan Presiden Jokowi, yang disebut-sebut akan menjadi salah satu faktor yang menentukan di Pilpres 2024. 

Kang Emil juga menyatakan akan segera berlabuh ke partai, tahun ini juga. Partai mana yang akan dipilih Kang Emil?

Lalu, apakah Kang Emil sudah mendapat restu Jokowi maju di Pilpres 2024? Apa harapan dan pandangan Kang Emil terkait presiden masa depan?

Kepada Rakyat Merdeka, Selasa (27/9), di Gedung Pakuan, Jawa Barat, Kang Emil membeberkannya. Semua on the record. Tak ada yang disembunyi-sembunyikan. Berikut penuturannya:

Dalam survei capres terbaru yang dirilis CSIS, Kang Emil masuk empat besar dengan raihan 16,2 persen. Nomor 1 Ganjar Pranowo (25,9 persen), Nomor 2 Prabowo Subianto (19,2 persen) dan Nomor 3 Anies Baswedan (18,1 persen), apa komentar Kang Emil soal ini? 

Orang disurvei itu pasif. Nggak melakukan apa-apa. Jadi yah responsnya tidak apa-apa, tapi ada konsistensi lah. Alhamdulilah. Elektabilitas sudah dua digit. 

Yang menarik, dalam survei CSIS itu, tingkat kesukaan terhadap Kang Emil lebih tinggi, sementara yang lain justru turun, Kang Emil tahu alasannya? 

Saya tidak tahu juga. Mungkin karena berkomunikasi intens menyampaikan gagasan, pencapaian, lalu berinteraksi lucu-lucuan. Karena kalau politik, terlalu serius, stres juga. Kalau kerja, ya serius. Tapi kalau komunikasi saya ringan, humoris, banyak ngelucu.

Mungkin faktor itu juga ya. Jadi pemimpin itu begitu, kerjanya saja yang terukur. Kalau soal komunikasi, itu kan soal gaya. Mungkin, gaya komunikasi yang humoris menambah faktor kedisukaan.

Kalau siap nyapres, serius kan Kang? 

Kalau saya, saat pintunya terbuka, saya serius. Pertanyaannya, pintunya terbuka atau tidak. Nah, menuju pintu terbuka itu harus ada ikhtiar-ikhtiar. Ikhtiar itu kan sangat dinamis. 
Memang hari ini koalisi sudah yakin segitu? Kan belum. Masih tarik ulur.

Jadi per hari ini, orang mengamati bahwa, berapa calon, berapa orang yang akan maju, belum bisa dipastikan jauh-jauh hari. Karena itu, mengalir saja.

Konsekuensinya, ya kerja saja. Karena kerja yang baik akan ada pencapaian, pasti ada apresiasi. Ada apresiasi pakai lagu pernah, apresiasi lukisan itu banyak banget. Ratusan. Ada apresiasi macam-macam. Salah satunya ya lewat elektoral. 

Jadi, hasil survei itu bisa jadi cerminan hasil kerja? 

Hasil survei itu kan bedabeda. Nomor 1, 2, dan 3, itu kadang nggak terus sama. Kadang nomor 3 jadi nomor 1. Kadang nomor 2 jadi nomor 1. Survei itu memang menjadi peta, tapi tidak menjadi ukuran. Jadi poinnya itu. Kerja rajin, terukur, deliver, komunikasikan mudah-mudahan itu menaikkan elektoral. 

Beberapa lembaga survei mulai mencocok-cocokkan atau menjodoh-jodohkan pasangan capres-cawapres, ini akan berpengaruh ke penetapan pasangan capres nantinya?

Itu tidak bisa dihindari, tapi satu hal, penganten dalam politik itu, tidak bisa selalu milih jodoh sendiri. Sok (silakan) kaji, soal penjodohan. 90 persen itu, kawin paksa. Dari keluarga-keluarga yang ngatur supaya kamu kawin sama ini, itu. Dan, itu selalu di detik-detik terakhir. 

Kenapa di akhir? 

Karena menjelang masa pendaftaran ditutup, dinamika harus dihentikan. Kalau dimundurkan lagi deadline-nya, itu dinamikanya melar lagi. Karena memang yang bisa menghentikan dinamika itu adalah titimangsa atau deadline

Sekarang kan mulai ada yang menjodoh-jodohkan Kang Emil. Bagaimana tanggapannya? 

Saya itu pada dasarnya begini. Dua kali pilkada memberikan pelajaran, kecocokan itu bisa dilakukan kemudian. Nikah dulu, lalu belajar mencintai. Karena nikahnya dipaksa, apa ini yang akhirnya menyebabkan ada kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harmonis?

Selama saya jadi walikota dan jadi gubernur, saya berkomunikasi dan memberi ruang kepada wakil. Karena itu, selama jadi walikota dan gubernur tak ada cerita aneh-aneh dengan wakil kan?

Karena emang komunikasinya baik, tapi kalau saya jadi nomor dua, saya juga harus tahu diri. Berarti saling memahami. Nah itu, mengetahuinya biasanya pasca menikah. 

Baca juga : Adat Bersendi Syara’, Sara Bersendi Kitabullah (2)

Kang Emil pernah ketemu fakta ada kepala daerah dan wakilnya yang tidak akur? 

Waktu saya jadi gubernur, saya harus mendamaikan empat daerah yang nomor 1 dan 2-nya bertengkar. Bahkan, ada satu daerah belum dilantik sudah bertengkar. Menangnya bareng, pas jelang dilantik terjadi dinamika. Yang rugi siapa? Kan rakyat. 

Lalu, Kang Emil sudah ada incaran nggak cocoknya nanti berpasangan dengan siapa? 

Pertanyaan itu tidak bisa dijawab. Karena riset menunjukkan, kami-kami ini belajar menyukai, cocoknya itu setelah dijodohkan. (Kang Emil tersenyum). 

Kita punya pengalaman, Kiai Ma’ruf Amin tidak pernah muncul di survei, tapi jadi wapres, apakah yang begini akan terjadi juga di 2024? 

Nah itu tadi. Kita lihat Kiai Ma’ruf. Tidak ada di baliho, tidak ada di survei. Kenapa Allah takdirkan jadi wakil presiden. Karena di detik-detik terakhir tadi, perhitungan bertahun-tahun sebelumnya berbeda dengan di detik-detik akhir itu.

Jadi, siapa dengan siapa, siapa menyalip siapa, tidak bisa diputuskan sekarang. Contoh lain, saat saya maju pilwakot, Ridwan Kamil itu surveinya 4 persen.

Kalau pakai teori hari ini, ngapain 4 persen, kok pede mau maju jadi Walikota. Namun, melalui sebuah proses waktu, menangnya kan 55 persen. Bagi saya, survei itu memetakan mood hari ini. Tidak memetakan mood di saat pemilu.

Karena mood saat pemilu harus dipetakan jelang pemilu yang mungkin berbeda. Jadi santai saja.

Tapi, kalau omongin pilpres kan selalu ramai, Kang? 

Saya lihat ya, politik itu emang rating-nya selalu tinggi. Saya gak ngerti juga. Mungkin penuh imajinasi, drama, konspirasi. Saya makan siang dengan satu tokoh misalnya, langsung ramai. Padahal kan cuma makan siang doang. Lalu ketemu di mana, ramai. Karena orang seneng menafsir. 

Contohnya? 

Kemarin, Pak Prabowo datang ke Bandung dan bilang, “saya harus menghitungkan Kang Emil”. Langsung ramai, kan gitu. Padahal, bisa juga Pak Prabowo ini menghitung, karena Jawa Barat besar dan tertata pencapaian-pencapaiannya, jadi harus sering ke Jawa Barat. 

Soal potensi Jawa Barat sebagai basis massa electoral, ini besar sekali Kang…

 Itu fakta yang tak bisa dilawan. Penduduk Jabar 50 juta, yang nyoblos 34 juta. Siapa yang bisa menguasai Jawa Barat sudah hampir 20 persen suara nasional. Jadi, 20 persen suara ini sama dengan suara satu pulau Sumatera. Jadi sangat besar. Makanya, kalau saya ini kerjanya baik, terukur, saya punya modal Jawa Barat saja. Sangat besar. 

Selain Kang Emil, ada Ganjar, Prabowo, Anies, Puan, Airlangga, AHY, Cak Imin, bakal capres nanti banyak sekali ya…

Menurut saya, bangsa ini beruntung. Punya stok pemimpin-pemimpin yang punya karakter dan kapasitas. Nah, itulah demokrasi. Kita bukan kerajaan seperti Arab Saudi yang sudah pasti. Seninya di situ. Jadi kelebihan demokrasi adalah orang berlomba-lomba untuk disukai tadi.

Untuk disukai itu kan banyak triknya. Ada yang pencitraan, ada yang memang kerja, macam-macam lah. Nah, istilah pencitraan itu kan juga muncul karena di alam demokrasi berlomba-lomba untuk disukai.

Kang Emil bagaimana? 

Ya, termasuk saya juga berada dalam ekosistem itu. Saya juga mencoba untuk disukai dengan penampilan, gaya bicara, konten, dan sebagainya. Nah, bahwa hasilnya akan menjadi sebuah kekuatan, bisa iya, bisa tidak.

Kenapa? Abah Maruf Amin tidak melakukan itu. Tahu-tahu jadi. Tidak ada pencitraan Abah yai. Kan? Posternya, balihonya, surveinya gak ada, tapi jadi. Itulah, saya percaya kepastian akhir itu adanya di akhir. Sekarang mah seru-seruan saja. 

Tapi, kalau nanti Kang Emil pada akhirnya akan berpasangan dengan nama-nama itu, tidak ada masalah ya? 

Tidak ada masalah. Kan tadi. Siapapun mencintai Indonesia. Tidak ada yang sempurna, termasuk saya. Cuma, dalam alam demokrasi itu, ini masukan, orang itu lebih senang membahas kekurangan daripada mengapresiasi pencapaian.

Adsense

Setiap orang pasti ada kelebihan, dan perlu diapresiasi juga. Ini maaf ya, seperti raport.

Baca juga : Jokowi Dapat Berkah BLT

Misalnya, dalam raport itu ada 9 mata pelajaran. Ada bahasa Indonesia, Matematika, dan lain-lain. Misalnya, jelek di Sastra. Jangan menganggap jelek di situ menganggap semua intelektualitas jelek semua. Nah, kadang-kadang demokrasi kita seperti itu. Jadi, ada satu kekurangan seolah-olah seluruh dimensi pribadinya itu jelek dan kurang. Padahal, berprestasi juga.

Biasanya, melihat yang jelek itu seru dan ramai? 

Betul, tapi tidak fair juga. Kalau hanya dimensi itu yang ditampilkan. Makanya, saya berdoa, ya Allah mudah-mudahan demokrasi Indonesia di masa depan pakai istilah dalam Alquan, fastabiqul khoirot demokrasi.

Demokrasi yang berlomba-lomba memperlihatkan kebaikan atau pencapaian. Memberikan solusi. 

Maksudnya? 

Bukan saya memilih Anda karena lawan Anda lebih buruk. Bukan begitu. Saya memilih Anda karena prestasi Anda. Kapasitas Anda, rekam jejak Anda. Bukan karena lawan Anda lebih jelek. Kan, kejadian seperti itu. Di Pilpres masih ada fenomena seperti itu. Perjalanan menuju demokrasi yang matang itu masih panjang. 

Sekarang mulai ramai tokoh yang bilang sudah didukung dan diendorse Pak Jokowi. Kang Emil bagaimana? Ada nggak support seperti itu menuju 2024? 

Ya, semua berhubungan baik dengan Pak Jokowi. Semua diberi atensi waktu yang cukup oleh Pak Jokowi. Baik dinas maupun tidak. Diberi atensi ini kan tinggal menafsir. Apakah saya geer atau tidak.

Ketemu berarti di-endorse, ya belum tentu juga, tapi saya kira Pak Jokowi ingin penggantinya itu mengetahui pola pikir Pak Jokowi, melanjutkan program yang baik dari Pak Jokowi.

Jadi itu yang saya lihat. Mungkin juga Pak Jokowi sedang memetakan, melihat sosok-sosok mana yang diberi nasihat, pengetahuan, karena kita juga butuh pembangunan itu berkelanjutan. 

“Pembangunan berkelanjutan”, maksudnya apa Kang? 

Jangan sampai nanti ganti rezim, program lama dihentikan. Saya kira, mohon maaf, ini budaya tidak baik. Jadi, saya kira, kalau satu rezim sudah selesai, rezim berikut harus melanjutkan dan mengapresiasi rezim sebelumnya. Sehingga, bangsa kita naik kelas terus. Ada keberlanjutan menghormati sejarah. Nah, itu yang dicari. 

Ada kekhawatiran, presiden yang baru nanti tidak ada jaminan akan melanjutkan program IKN, menurut Kang Emil bagaimana ini? 

Iya, saya kira tidak bolehlah ya. IKN itu kan keputusan politik. Bukan keputusan eksekutif. Jadi, siapa pun Presiden-nya, wajib hukumnya melanjutkan program itu. Kalau tidak, berulang lah ketidakdewasaan politik kita.

Ibaratnya begini, satu pemimpin mengaspal jalan dari kilometer 0 sampai 80. Nanti pemimpin berikut mengaspal jalan dari kilometer 80 sampai 200. Jadi, semua itu punya rekam jejak untuk dilanjutkan.

Sehingga, jalan panjang menuju “Adil Makmur” itu bisa sampai. Karena selalu melanjutkan. Bukan yang dulu-dulu tidak selesai malah dicari-cari keburukannya. 

Soal ini, di Jakarta lagi ramai debat antara para pendukung presiden saat ini dan pendukung presiden sebelumnya, saling mengklaim pembangunan yang berhasil dan saling cerca pembangunan yang mangkrak. Ini bagaimana? 

Saya kira, masyarakat mah pintar. Tinggal dilihat saja jejak rekam digitalnya. Sekarang kan bukan era berita manual lagi. Klaim itu kan tinggal dikroscek saja. Seperti saya juga sering ditanya, Pak RK ngapain aja saat jadi walikota? Saya punya rekam jejaknya.

Jadi, masyarakat tidak senaif itu. Masyarakat juga pintar. Punya perangkat untuk memvalidasi sebuah klaim. Poin saya, justru budaya seperti itu jangan selalu dibesar-besarkan. Poin saya, apresiasi masa lalu, yang kurang disempurnakan.

Yang pencapaian besar diapresiasi, yang baik-baik dilanjutkan. Kalau hal itu dijadikan kultur budaya kita, maka Indonesia keren kan.

Salah satu pekerjaan besar Pilpres 2024 adalah tidak terulang lagi polarisasi seperti di 2019. Kira-kira apa yang harus dilakukan? 

Syaratnya, pasangan jangan dua. Kalau pasangan hanya dua, ngebelahnya itu gampang. Kalau anda gak bersama saya, berarti anda musuh saya. Kita A, anda B. Jadi terlalu mudah (polarisasinya). Kalau tiga kan susah. Yang ketiga mau dilabeli apa, kan susah. 

Jadi, harus bagaimana? 

Makanya, idealnya agar itu tak terulang, pasangan capres cawapres harus lebih dari dua. Dulu, yang terasosiasi dengan dua kelompok ini, tiba-tiba cair. Seperti cairnya Pak Prabowo gabung dengan kabinet Pak Jokowi. Harusnya kan selesai pembelahan itu. Ternyata, di akar rumput nggak. Masih. 

Baca juga : Urusan Sambo Pindah Ke Jaksa Agung

Kalau hanya dua pasang calon, nanti polarisasi di 2019 akan menguat lagi di 2024?

Saya khawatir seperti itu. Saya khawatir kalau dua pasang akan terjadi polarisasi lagi. 

Sekarang, soal Kang Emil yang ingin masuk partai, Kang Emil pernah berjanji pertengahan tahun ini akan masuk partai, sekarang sudah mau akhir tahun. Gimana ini, Kang? 

Jadi, saya itu sudah siap-siap. Cuman kan saya ada musibah yang keluarga itu. Yang menyebabkan banyak rencana-rencana politik saya tertunda. Ini sedang nunggu momentum dari pihak keluarga saya juga agar lebih siap dulu, tapi masih tahun ini juga. Hanya mungkin tidak di pertengahan tahun. Mungkin di tengah tahun lewat beberapa waktu ke depan. Pastilah media dikabari. 

Sudah ada ancang-ancang, pilih partai mana Kang? Beberapa pengamat memberi nasihat agar Kang Emil masuk partai yang nasionalis- religius, seperti Golkar, NasDem, Demokrat,… yang coraknya seperti itu. Bagaimana menurut Kang Emil? 

Yah, namanya nasihat kita terima dengan baik. Nanti di-istikharah-kan dulu, tapi intinya, saya memang merasa momentum untuk bergabung itu harus saya lakukan. Partainya mana sudah saya pertimbangkan. Partainya mana, nanti kita podcast lagi. Mungkin keputusannya sudah ada. (Kang Emil tertawa).

Sekarang soal Jawa Barat. Kang Emil banyak sekali meraih penghargaan ya… 

Pencapaian di Jawa Barat yang pertama yang bikin saya bangga dan bahagia adalah pas menjabat 2018 jumlah desa tertinggal masih banyak. Ada 1.000. Sekarang Alhamdulillah sudah nol.

Ini, alhamdulillah yang paling nyata, sudah tidak ada lagi desa tertinggal. Yang membanggakan desa terbaik atau desa mandiri dari 30 dari awal menjabat sekarang sudah 1.100. 

Kedua, yang saya banggakan adalah kinerja PNS kita ranking satu. Semua saya reformasi pakai digital. Yang malas, bisa ketahuan pakai aplikasi. Yang rajin diapresiasi, mutasi juga terpantau, tidak ada korupsi. 

Ada lagi? 

Perencanaan pembangunan nomor 1 dari Bappenas, investasi nomor 1, keterbukaan pers kita 1-2 besar, keterbukaan publik ranking 1, tapi karena penduduknya 50 juta, tentu dinamikanya tidak mudah, tapi ini latihan.

Saya pernah ngelola 2,5 juta orang, sekarang 50 juta. Berpolitik berjenjang itu enak. Karena semua urusan kita pahami pelan-pelan dan nggak kaget. 

Kang Emil senang dengan semua capaian ini? 

Apresiasi itu mah bonus. Kerja baik itu kebutuhan, kewajiban, kemuliaan, kalau ada apresiasi itu bonus. Nggak ada award-award-an juga, PNS akan saya reformasi, investasi harus saya kejar. Cuman, ada cumannya. Cuman kalau pencapaian ini diberitakan masyarakat itu biasa saja, tapi kalau sekalinya terpeleset, ada viral-viral gitu, wuaah… 

Dari semua prestasi yang sudah diraih, apa yang paling berkesan sampai dibawa ke kamar tidur, Kang? 

Kalau yang zaman gubernur, itu saja yang desa tertinggal menjadi nol. Bagi saya, itu pencapaian besar kemudian juga provinsi pertama yang punya kurikulum antiradikalisme.

Tapi (penghargaan) yang dibawa ke kamar itu, salah satunya ya itu, sama yang saya banggakan dan tak pernah terkalahkan investasi selalu nomor 1. Menandakan tamu itu betah di Jawa Barat. 

Terakhir, soal wafatnya Eril. Apa masih ada perasaan yang belum Kang Emil ungkapkan ke publik terkait almarhum? 

Ujian terberat manusia itu kehilangan anak. Kalau kehilangan orangtua kita ada persiapan, kalau kehilangan pasangan kita kaget, tapi tidak gimana-gimana.

Tapi kalau kehilangan anak itu, duh, itu puncak terberat, dan saya harus melalui itu. Sehingga yang lain-lain itu beratnya tidak selevel kehilangan anak. Dan, ternyata saya tidak sendiri. 

Pak Wiranto kehilangan dua putranya. Mbak Najwa Shihab juga. Terus Gubernur Sumatera Selatan, ada juga Walikota Jambi. Jadi, akhirnya saya memahami itu. Refleksinya, saya harus menyadari itu bagian dari perjalanan takdir sampai pulang, tidak tahu kapan.

Jadilah seperti Eril, bermanfaat buat masyarakat. Apalagi, saya punya kekuasaan yang bisa berdampak masif. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense