BREAKING NEWS
 

Karena Salah Ketik?

Reporter & Editor :
SUPRATMAN
Kamis, 20 Februari 2020 02:11 WIB
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketika sebuah surat atau Rancangan Undang-Undang dikritik publik, satu dalih yang popular adalah karena ada “salah ketik”.

Benarkah karena salah ketik? Mungkin saja benar-benar karena kekeliruan. Murni human error. Ini sangat manusiawi. Atau, bisa juga memang terjadi karena salah dalam logika.

Atau, bisa juga “kesalahan” tersebut dimaksudkan untuk mengetes pendapat dan sikap publik. Test the water. Kalu diterima, oke. Kalau tidak, ya disempurnakan lagi. Namanya juga usaha.

Baca juga : Sapu Jagat dan Sapu Lidi

Atau, ada maksud dan motif tertentu. Bukan salah ketik. Tapi memang begitu maksudnya. Salah ketik hanya cara untuk berkelit.

Pemprov DKI misalnya, dituding melakukan manipulasi surat izin penyelenggaraan Formula E di Monas. Sekda DKI berdalih, karena ada “salah ketik”.

Adsense

RUU Omnibus Cipta Kerja, yang sekarang sedang ramai dibicarakan, juga sama. Ada beberapa pasal yang dinilai kontroversi. Menkopolhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly, juga berdalih “mungkin terjadi salah ketik”.

Baca juga : Isu Reshuffle Muncul Lagi

Kalau salah ketik atau typo, biasanya hanya salah beberapa huruf. Misalnya A jadi O. Atau ada huruf yang hilang. Bukan satu alinea. Atau, kalau ngetiknya di rental komputer, dan diketikkan penjaga rental, bisa saja terjadi typo. Tapi ini urusan pemerintah. Masalah negara. Dokumen penting. Diparaf pula.

RUU Cipta Kerja, misalnya. Salah satu yang dipersoalkan adalah pasal 170. Pasal ini memberi kewenangan besar kepada Presiden untuk mencabut UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Presiden juga memiliki kewenangan mencabut Perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
   
Pasal-pasal ini dinilai melanggar konstitusi. Dicap sebagai langkah mundur. Lagi pula, dikhawatirkan bisa mengembalikan era kelam otoritarianisme. Karena, RUU tersebut memberi kewenangan yang sangat besar kepada Presiden. Sampai kapan pun, sampai UU tersebut diganti.

Baca juga : Ada Krisis Kepercayaan?

Masalahnya, tidak semua Presiden bisa berjalan di rel yang tepat. Presiden periode mendatang misalnya, siapa pun dia, bisa saja memanfaatkan pasal-pasal ini untuk menciptakan pemerintahan otoriter. Pemerintah yang tidak peduli aturan. Yang bisa semau-maunya.

Karena itu, publik perlu memelototi pembahasan pasal-pasal ini di DPR. Sekarang, draf RUU-nya sudah di meja DPR. Pembahasannya pasti ramai. Partisipasi dan masukan-masukan dari publik sangat dibutuhkan.

Pembahasan RUU KPK menjadi pelajaran berharga. Walaupun penolakannya sedemikian besar dan luas, lewat demo berjilid-jilid dan memakan korban, tetap saja UU KPK diloloskan. Ini pengalaman sangat berharga.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense