Dark/Light Mode

Banyak Masalah, RUU Tanah Sebaiknya Ditunda

Rabu, 10 Juli 2019 02:15 WIB
Direktur Eksekutif  APHI Purwadi Soeprihanto
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto

RM.id  Rakyat Merdeka - Pengesahan RUU Pertanahan sebaiknya ditunda, dan dibahas kembali secara komprehensif pada periode DPR hasil Pemilu 2019. Jika dipaksakan dikawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pengusaha hutan Indonesia.

Direktur Eksekutif  Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto meminta pemerintah dan DPR untuk membahas lebih mendalam RUU Pertanahan, dan menunda pengesahan pada periode tahun ini. 

Penundaan ini, kata Purwadi karena masih banyak masalah yang belum dibahas tuntas dengan kalangan terkait atau stakeholder. Jika ini dipaksakan untuk disahkan segera, akan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pengusaha hutan Indonesia.

Baca juga : Sampah Bukan Musibah, Sampah Bisa Jadi Berkah

“Langkah paling bijak adalah menunda pengesahan RUU Pertanahan. Kemudian membahas sejumlah masalah penting yang selama ini belum dibicarakan dengan pihak terkait. Masalahnya, jika RUU disahkan  menjadi UU, konsekuensi logisnya harus diikuti. Sebab, UU itu mengikat secara nasional seluruh elemen masyarakat,” ujar Purwadi, Selasa (9/7).

Senada dikatakan Guru Besar IPB Bogor Hariadi Kartodihardjo. Jangan tergesa-gesa mengesahkan RUU Pertanahan dengan waktu yang terbatas, mengingat urgensi kepentingan UU tersebut. 

“Lebih baik dimatangkan dan diselesaikan secara holistik diperiode mendatang.  UU ini nantinya, harus mampu mengisi kekosongan atau kelemahan yang ada dalam UU Pokok Agraria tahun 1960,” ujarnya.

Baca juga : Pertama Kali, RI Jadi Tuan Rumah Angkutan Udara

Dalam hal ini, Hariadi menilai, RUU Pertanahan terkesan lebih membangun penguatan lingkup kewenangan kementerian yang membidangi pertanahan dan tata ruang daripada menjawab kebutuhan sebuah beleid menyeluruh yang mengatur tanah.

“Seperti meminimalkan ketidak-sinkronan undang-undang sektoral terkait bidang pertanahan maupun berbagai penafsiran yang telah menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar Undang-Undang Pokok Agraria,” terangnya.

Sementara Direktur Eksekutif  APHI Purwadi mengatakan, salah satu yang menjadi sorotan kalangan pengusaha adalah persoalan kawasan yang masuk dalam Pasal 23 dan juga soal obyek pendaftaran tanah yang masuk dalam Pasal 63-64.

Baca juga : Inilah 50 Resto Terbaik Dunia

Dalam pembahasan RUU Pertanahan selalu disinggung masalah kawasan. Sementara dalam Undang -Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan. 

“Kita khawatir, izin yang kita peroleh dengan penetapan Menteri Kehutanan, pasti akan menimbulkan ketidak pastian di kalangan pengusaha hutan. Karena pandangan Kementerian ATR pasti berbeda dengan KLHK,” katanya sambil menambahkan bahwa dari 68 ha hutan produksi, sekitar 30 juta ha sudah ada izin dari Kementerian LHK.

Purwadi juga menyebut apabila langkah pendaftaran ulang kawasan dilakukan, pasti menjadi ekonomi biaya tinggi bagi para pengusaha hutan. “Jadi, sebaiknya RUU Pertanahan dibahas ulang. Kami dari kalangan pengusaha belum pernah diajak dialog. Padahal UU itu nantinya pasti bersentuhan atau menyangkut hak kami di kawasan hutan yang telah berizin.” katanya.[FIK]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.