Dark/Light Mode

Aneka Kekerasan Masih Hantui Perempuan

Negara Wajib Beri Perlindungan

Senin, 11 Maret 2019 15:39 WIB
Aktivis Perempuan Berorasi dalam momentum hari International Womens Day, di jakarta. (Foto : VOA).
Aktivis Perempuan Berorasi dalam momentum hari International Womens Day, di jakarta. (Foto : VOA).

RM.id  Rakyat Merdeka - Momentum Hari Perempuan Internasional 8 Maret lalu dimanfaatkan aktivis perempuan untuk menyuarakan situasi darurat kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Kekerasan tersebut tidak hanya soal ancaman fisik, tapi juga kekerasan di ruang publik hingga tempat kerja.

Sementara itu, kemiskinan dan ketimpangan sosial juga masih menjadi masalah besar. Berikutnya, kriminalisasi terhadap aktivis perempuan yang berupaya mempertahankan sumber penghidupannya.

Juru bicara Komite International Women’s Day (IWD) 2019 Lini Zurlia menambahkan,sampai hari ini perempuan juga masih dijadikan sebagai objek eksploitasi untuk meraih sensasionalitas dan komersialisme. “Masih banyak media massa yang produk pemberitaannyaseksis dan tidak berpihak pada korban kekerasan serta pelecehan seksual,” sebutnya di Jakarta, kemarin.

Sementara pemberitaan dan produk media seperti film, iklan, media cetak/elektronik, dan lain sebagainya, justru melanggengkan stereotipe negatif untuk perempuan dan minoritas seksual lain. “Bahkan, belum ada jaminan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan untuk beraktivitas di ruang public. Seperti jalan raya, mall, taman, gang, angkutan umum, di tempat kerja, institusi pendidikan hingga ruang maya (internet),” imbuhnya.

Anggota IWD 2019 yang juga Koordinator Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi menuturkan, perempuan dan masyarakat marginal masih menghadapi situasi menyempitnya ruang demokrasi, pemiskinan, ketimpangan sosial dan maraknya kriminalisasi serta kekerasan seksual.

Baca juga : Lakukan Penataan Kelembagaan Petani

Dia menyoroti perempuan buruh yang rentan mengalami pemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan di hampir seluruh sektor industri. “Pemiskinan tersebut tergambar dari ketiadaan tunjanganpasangan bagi buruh perempuan, upah murah, hingga tidak ada upah lembur,” ujarnya.

Untuk keluar dari jurang kemiskinan, perempuan Indonesia sampai harus menjadi pekerja rumah tangga (PRT) migran. Di mana sebagian mereka malah terancam hukuman berat di negara penempatan, termasuk hukuman mati. Sementara di dalam negeri, nasib pekerja rumah tangga (PRT) tidak jauh berbeda dan bahkan belum diakui pemerintah sebagai pekerja.

“Maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing juga menjadi salah satu bentuk pemiskinan bagi buruh perempuan,” sambungnya.

Belum lagi masih banyak perusahaan belum sungguh-sungguh memberikan jaminan atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sehingga banyak buruh/pekerja perempuan yang menanggung efek negatif seperti sakit akibat kecelakaan kerja dan sebagainya.

Senada dengan itu, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengungkapkan, para buruh perempuan masih sulit untuk mendapatkan cuti haid. “Ketika buruh perempuan haid dan meminta apa yang menjadi haknya itu harus melalui pemeriksaan dokter di klinik-klinik perusahaan,” katanya.

Baca juga : Tahun Lalu, LBH APIK Terima 800 Pengaduan

Hal tersebut justru membingungkan. Karena haid juga tidak dianggap sakit oleh dokter. Ada pula beberapa perusahaan yang justru tetap memaksakan mereka yang sedang haid untuk masuk. Tapi dibolehkan beristirahat di tempat kerja.

Bahkan yang lebih mengenaskan, salah satu jalur yang ditempuh adalah memperlihatkan darah haidnya melalui kapas ke dokter. “Ini berpotensi memberikan pelecehan pada perempuan,” ujarnya. Akibatnya banyak buruh perempuan engga nuntuk mengambil cuti haid meski itu adalah haknya.

Media Relations Manager Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Vera Ismainy mengatakan, perlindungan untuk perempuan pekerja migran masih belum maksimal. Padahal, remitansi yang mereka hasilkan mampu menggerakkan perekonomian dan membawa manfaat untuk anggota keluarganya.

“Untuk lebih memaksimalkan perlindungan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM,” usulnya.

Apalagi, tidak sedikit pekerja migran yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga dengan memilih bekerja di luar negeri. Karena itu, sudah sebaiknya pemerintah memberikan fasilitas pendampingan dan perlindungan kepada mereka.

Baca juga : Pengadilan Negeri Praya Tolak Gugatan Warga

Dengan adanya kebijakan yang jelas dan berpihak pada mereka, diharapkan tidak akan ada lagi pekerja migran yang menempuh jalan illegal. Kebijakan yang akan dibuat itu harus mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM. Kebijakan seperti ini harus dimulai dari pendaftaran, perekrutan, pelatihan, pemberangkatan hingga penempatan.

“Kebijakan ini idealnya memberikan kemudahan sekaligus perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. Tapi yang terjadi saat ini, para calon pekerja migran sangat rentan terhadap berbagai tindak kriminal dan kekerasan serta minim edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja,” terangnya. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.