Dark/Light Mode

Digitalisasi Menuju Net Zero Emission 2060

Jumat, 30 Desember 2022 21:53 WIB
Internet of Things (IoT). (Foto: Istimewa)
Internet of Things (IoT). (Foto: Istimewa)

Jika kita bertanya kepada orangtua, bagaimana kehidupan di masa muda mereka. Kebanyakan dari mereka akan mulai bercerita tentang bagaimana sulitnya perjalanan menuju sekolah.

Terkadang pula diselingi dengan bagaimana rasanya bersabar menunggu surat ketika saat itu tidak semua orang dapat menggunakan media komunikasi jarak jauh selain surat menyurat. Bahkan, mungkin beberapa dari mereka akan bercerita tentang gelapnya malam saat penerangan utama di desa mereka hanya bersumber dari cahaya redup lampu teplok. 

Terlepas dari nostalgia masa lalu itu semua, akan terdengar pula bagaimana segarnya udara dan indahnya sungai yang dapat dinikmati di masa lalu yang diceritakan dengan perasaan semangat. Kemudian, cerita ditutup dengan perasaan kecewa karena membandingkan kondisi lingkungan saat ini dengan masa lalu. Perubahan kualitas lingkungan hidup tentu saja tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kegiatan konsumsi dan produksi manusia. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu dikembangkan untuk mempermudah kehidupan manusia sehingga masalah-masalah kuno yang ada pada masa lalu dapat diselesaikan dan masalah-masalah baru dapat diantisipasi. 

Meskipun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan dampak positif, tetapi di sisi lain memberikan dampak negatif. M

emang, saat ini, hampir semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang semakin mudah dijangkau dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pembangkit listrik berbahan bakar fosil memiliki dampak negatif berupa emisi karbon yang berlebihan. 

Hal tersebut menyebabkan efek gas rumah kaca, pemanasan global, dan sebagainya yang memiliki pengaruh buruk bagi kehidupan maupun lingkungan dalam jangka panjang. 

Baca juga : Nikita Willy, Usir Kejenuhan Ke Luar Negeri

Dalam Paris Agreement atau Negosiasi Iklim 21 (COP 21), terdapat tujuan utama dalam menjaga rata-rata temperatur global di bawah 2?. Menurut International Energy Agency (IEA), Jika infrastruktur energi saat ini terus digunakan seperti pada masa lalu, yaitu berbasis bahan bakar fosil, kenaikan suhu sebesar 1,65 derajat akan terjadi.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menunjukkan pembangkit listrik Indonesia mencapai 73,736 megawatt (MW) atau 73,74 gigawatt (GW). Lebih dari setengah angka tersebut masih disumbang oleh Pembangkit listrik berbahan bakar fosil. 

Sebanyak 35,36 persen berasal dari batu bara, 19,36 persen berasal dari gas bumi, dan 34,38 persen berasal dari minyak bumi. 

Dari data tersebut, tentu pemerintah dan bahkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya transisi energi bersih yang efektif dan efisien. Untuk mencapai 23 persen target bauran energi dari energi baru terbarukan dan Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, tentu masih banyak hal yang perlu dikaji dalam strategi transisi energi baru terbarukan. Dalam prosesnya sendiri, transisi energi baru terbarukan tidak dapat langsung sepenuhnya terlaksana. 

Hal tersebut terjadi karena perlunya waktu bagi masyarakat untuk terbiasa dengan penggunaan energi baru terbarukan dan terbiasa tidak bergantung pada energi fosil. 

Salah satu tantangan dalam transisi energi baru terbarukan adalah harganya yang cukup mahal dalam pembangunan dan perawatannya. Diperlukan biaya sebesar Rp 81.800.000 atau sebesar 6.170 dolar AS dalam pembuatan sebuah turbin angin sumbu horizontal berdaya 1000 watt dengan kecepatan angin rata-rata 4,5 – 5.0 m/s dan biaya perawatan sebesar Rp 1.400.000 per bulan secara onshore (Adlie, dkk., 2015). 

Menurut data oleh Nokia, pada 2019, biaya operasi dan perawatan untuk turbin angin offshore adalah 42.000 – 48.000 dolar AS per tahun. Menurut David Letterman, head of business development, Nokia Digital Automation Cloud Amerika Utara, kerusakan gearbox pada sebuah turbin onshore dapat mencapai USD 200.000. Nilai tersebut sudah mencakup tenaga kerja, logistik, dan kerugian yang dihasilkan oleh kerusakan tersebut sehingga perlu adanya solusi untuk mengatasi masalah terkait energi baru terbarukan dengan transformasi digital. 

Baca juga : Dorong Digitalisasi Ecosystem, BNI Raih DevPortal Award 2022.

Peran teknologi digital sangat krusial dalam perkembangan energi baru terbarukan. Industri 4.0 saat ini memiliki dampak yang luas bagi kehidupan manusia. 

Internet of Things (IoT), cloud computing, robotika, virtual reality, big data, dan lain-lain dapat membantu dekarbonisasi dan transisi energi dengan lebih efisien. Untuk mencapai target NZE, digitalisasi perlu dilakukan dalam pendistribusian listrik secara efisien serta perawatan kualitas pembangkit.

 Dalam masalah sebelumnya, yaitu harga dalam perawatan ketika terjadi kerusakan gearbox pada turbin angin onshore, dapat diatasi dengan digitalisasi dan perawatan prediktif. Digitalisasi memungkinkan adanya pemantauan secara jauh. Dengan mengintegrasikan kamera, sensor, dan software analisis, pemantauan jarak jauh dapat dilakukan sehingga apabila terjadi masalah, dapat dilakukan aksi cepat tanggap. Selain itu, machine learning yang terintegrasi dengan sistem IoT pada turbin angin dapat digunakan untuk memprediksi kesalahan yang terjadi berdasarkan data real-time

Digitalisasi mungkin terlihat mudah bagi Sebagian orang. Namun, dalam pengimplementasiannya dengan energi baru terbarukan, konektivitas menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Sumber energi baru terbarukan sering kali terdapat di daerah yang jauh dari permukiman dan terpencil. Bahkan, terdapat kota yang belum memiliki kualitas internet yang baik. Contohnya adalah Jayapura. Jayapura memiliki intensitas radiasi sebesar 5.720 Wh/m2. Intensitas radiasi tersebut lebih besar dibandingkan beberapa kota di Indonesia. 

Sebagai perbandingan, intensitas radiasi di Donggala sebesar 5.512 Wh/m2, Yogyakarta sebesar 4.500 Wh/m2, dan Bogor sebesar 2.558 Wh/m2. Kualitas internet di Jayapura bisa dibilang masih cukup baik untuk penyedia layanan internet tertentu, tetapi beberapa penyedia layanan internet tidak cukup baik. Hal ini tentu dapat menghambat penggunaan IoT dalam panel surya yang digunakan di daerah tersebut. 

Oleh karena itu, sebelum adanya digitalisasi dalam energi baru terbarukan, perlu adanya pembangunan infrastruktur internet yang baik pula. 

Dengan digitalisasi energi baru terbarukan, manusia dapat dengan mudah merawat, memantau, dan memprediksi apa yang terjadi pada sebuah pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan. Hal ini dapat menjadi batu pijakan untuk menuju NZE yang ditargetkan oleh pemerintah pada tahun 2060, serta dapat mengatasi masalah biaya yang ada secara lebih efisien. 

Baca juga : Di Tangan Hendi Prio Santoso, MIND ID Siap Menuju Net Zero Emission


Daftar Pustaka 

Nokia. (2020). Harnessing the Cost Benefits of 5G Wireless Broadband Communications for Windfarms. 

S. Heri. (2016). “Kajian Potensi Energi Surya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)”. Jurnal Energi dan Kelistrikan. Vol. 8. Hal. 114-118. ISSN : 1979-0783. 

A. Taufan dkk.. (2015). “Analisa Biaya Pembuatan Turbin Angin Sumbu Horizontal di Wilayah Pesisir Kota Langsa”. Jurnal ilmiah JURUTERA. Vol. 2. Hal 1-7. ISSN 2356-5438 


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.