Dark/Light Mode

Desember 2022 Dan Februari 2023, Harga Energi Bakal Diuji, Kita Kudu Piye?

Kamis, 10 November 2022 16:48 WIB
Ilustrasi peta penggunaan energi dunia (Foto: Wikipedia)
Ilustrasi peta penggunaan energi dunia (Foto: Wikipedia)

RM.id  Rakyat Merdeka - Krisis energi yang melanda dunia hari ini, merupakan krisis multi dimensi yang tidak pernah terjadi dan terpikirkan sebelumnya.

Hal ini ditegaskan mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjadi Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) atau PGN, Arcandra Tahar.

Arcandra mengatakan, krisis energi yang terjadi pada tahun 1970-an, hanya memiliki satu dimensi. Yakni, terganggunya suplai minyak dari Timur Tengah ke Amerika Serikat (AS).

Sehingga, solusi yang dijalankan oleh pemerintah AS waktu itu, terbilang cukup sederhana. Mengurangi ketergantungan impor minyak, dengan cara melakukan eksplorasi dan produksi minyak di dalam negeri sendiri.

Strategi ini berjalan baik, seiring naiknya produksi minyak di AS, yang saat ini justru lebih besar dibanding produksi minyak Arab Saudi.

"Kalau kita telaah lebih dalam, krisis energi sekarang tidak saja menyangkut masalah minyak. Tetapi juga menjalar ke masalah gas alam, batubara, kelistrikan dan pangan. Belum lagi, isu perubahan iklim, yang juga erat kaitannya dengan krisis energi saat ini," papar Arcandra.

"Kerumitan inilah yang sedang melanda dunia, setelah optimisme terkendalinya wabah Covid-19 menampakkan titik terang," imbuhnya.

Baca juga : Bersiap, Lonjakan Covid Varian Baru

Krisis energi tahun 1970-an, hanya melanda negara AS. Tapi sekarang, krisis energi terjadi di banyak negara Eropa.

"Salah satu faktor utama dari krisis Eropa adalah suplai gas yang tidak mencukupi kebutuhan selama musim dingin, akibat perang Rusia dan Ukraina. Embargo terhadap komoditas energi dari Rusia yang dilakukan oleh negara-negara Barat, berbalik arah menjadi sebuah krisis energi yang melanda Eropa," jelas peraih gelar PhD di bidang Teknik Kelautan dari Texas A&M University, AS.

Beberapa negara, melakukan langkah aksi dengan menghidupkan kembali PLTU, dan memperpanjang masa pengoperasian PLTN, yang semula dijadwalkan pensiun.

Ini artinya, kebutuhan Eropa terhadap batubara meningkat.

Namun, kebutuhan batubara yang selama ini disuplai Rusia terhenti, akibat embargo oleh Uni Eropa.

"Menurut data yang kami peroleh, sejak Agustus 2022, tidak ada lagi batubara yang masuk ke Uni Eropa. Akibatnya, harga batubara mencapai level tertinggi dalam sejarah, pada awal September 2022," papar Arcandra.

Data perdagangan Senin (5/9) melaporkan, harga batubara kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle, ditutup di angka 463,75 dolar Amerika Serikat (AS) per ton.

Baca juga : Ganjar Presiden 2024 Kian Menguat, Warga Desa se-Madura: Dia Berkontribusi Nyata Membangun Desa

Muncul pertanyaan, apakah kesulitan yang dialami negara-negara Eropa ini, bisa teratasi dalam waktu dekat? Atau malah sebaliknya, makin dalam dan bisa tidak terkendali?

Soal ini, Arcandra menjelaskan, ada dua peristiwa penting yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Pertama, Desember 2022 adalah batas akhir yang diputuskan Uni Eropa, untuk menghentikan seluruh impor minyak mentah, dari Rusia ke negara-negara Eropa.

Sebelumnya, hanya Inggris (UK) dan Amerika Serikat (AS) yang menghentikan perdagangan minyak dengan Rusia.

Walaupun dihentikan UK dan AS, sebagian minyak mentah ini dibeli oleh China, India dan Turki yang mungkin mendapat harga khusus.

"Kami belum bisa membayangkan, apa yang terjadi, kalau seluruh negara Uni Eropa menghentikan impor minyak dari Rusia, pada Desember 2022?" ucap Arcandra.

Menurut data yang diperolehnya pada September 2022, Uni Eropa masih mengimpor minyak mentah sebesar 2,6 juta barrel per day (bpd) dari Rusia.

Baca juga : Pasang PLTS Di Pabrik, Bogasari Hemat Energi 1,1 Juta KWH Per Tahun

Angka ini mencakup sekitar 2,6 persen kebutuhan minyak dunia.

Secara logika, Uni Eropa perlu mencari minyak mentah pengganti yang 2,6 juta bpd ini, dari negara lain selain Rusia.

Sementara Rusia, juga butuh pasar yang baru untuk menyerap 2,6 juta bpd yang ditolak EU Uni Eropa.

Dari situasi ini, kemungkinan akan terjadi pergerakan perdagangan minyak mentah dunia yang masif, dan membuat harga bergejolak.

"Untuk sedikit membuat rumit, belum tentu minyak mentah pengganti cocok dengan kilang-kilang di Eropa. Ibarat rumah makan Padang yang akan memasak rendang daging sapi, tapi yang tersedia bukan daging sapi," tutur pria kelahiran Padang, 10 Oktober 1970.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.